Frustrasi, dari bahasa
Latin
frustratio, adalah perasaan kecewa atau jengkel akibat terhalang dalam pencapaian
tujuan. Semakin penting tujuannya, semakin besar frustrasi dirasakan. Rasa
frustrasi bisa menjurus ke stress.
Frustrasi
dapat berasal dari dalam (internal) atau dari luar diri (eksternal) seseorang
yang mengalaminya. Sumber yang berasal dari dalam termasuk kekurangan diri
sendiri seperti kurangnya rasa percaya diri atau ketakutan pada situasi sosial yang menghalangi pencapaian tujuan.
Konflik juga dapat menjadi sumber internal
dari frustrasi saat seseorang mempunyai beberapa tujuan yang saling
berinterferensi satu sama lain. Penyebab eksternal dari frustrasi mencakup
kondisi-kondisi di luar diri seperti jalan yang macet, tidak punya uang, atau
tidak kunjung mendapatkan jodoh.
Pengertian Stres
Menurut
Morgan dan King,
“…as an internal state which can be
caused by physical demands on the body (disease conditions, exercise, extremes
of temperature, and the like) or by environmental and social situations which
are evaluated as potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our
resources for coping” (Morgan & King, 1986: 321)
Jadi
stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh
tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi
merusak dan tidak terkontrol.
Stres juga didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (Cooper, 1994).
Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991). Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa.
Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956).
Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressful. Sehingga respon terhadap stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu.
Stres juga didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (Cooper, 1994).
Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991). Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa.
Stressor yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956).
Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressful. Sehingga respon terhadap stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu.
Jenis-jenis Stres
Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
- Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat
sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut
termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan
dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance
yang tinggi.
- Distress, yaitu hasil dari respon
terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat
merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi
seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism)
yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan
kematian.
Pengertian Stres Kerja
Definisi stres kerja dapat dinyatakan sebagai berikut :
Definisi stres kerja dapat dinyatakan sebagai berikut :
“Work stress is an individual’s
response to work related environmental stressors. Stress as the reaction of
organism, which can be physiological, psychological, or behavioural reaction” (Selye, dalam Beehr, et al., 1992:
623)
Berdasarkan
definisi di atas, stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor
kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis,
dan perilaku. Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan
berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan
segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan
dapat menimbulkan stres kerja.
Sumber-sumber Stres Kerja
Banyak ahli mengemukakan mengenai penyebab stres kerja itu sendiri. Soewondo (1992) mengadakan penelitian dengan sampel 300 karyawan swasta di Jakarta, menemukan bahwa penyebab stres kerja terdiri atas 4 (empat) hal utama, yakni:
Banyak ahli mengemukakan mengenai penyebab stres kerja itu sendiri. Soewondo (1992) mengadakan penelitian dengan sampel 300 karyawan swasta di Jakarta, menemukan bahwa penyebab stres kerja terdiri atas 4 (empat) hal utama, yakni:
- Kondisi
dan situasi pekerjaan
- Pekerjaannya
- Job
requirement
seperti status pekerjaan dan karir yang tidak jelas
- Hubungan interpersonal
Luthans
(1992) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri atas empat
hal utama, yakni:
- Extra
organizational stressors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi,
keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan
keadaan komunitas/tempat tinggal.
- Organizational
stressors,
yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik
dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi.
- Group
stressors,
yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan
sosial, serta adanya konflik intraindividu, interpersonal, dan intergrup.
- Individual stressors, yang terdiri dari terjadinya
konflik dan ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola
kepribadian Tipe A, kontrol personal, learned helplessness, self-efficacy,
dan daya tahan psikologis.
Sedangkan
Cooper dan Davidson (1991) membagi penyebab stres dalam pekerjaan menjadi dua,
yakni:
- Group stressor, adalah penyebab stres yang
berasal dari situasi maupun keadaan di dalam perusahaan, misalnya
kurangnya kerjasama antara karyawan, konflik antara individu dalam suatu
kelompok, maupun kurangnya dukungan sosial dari sesama karyawan di dalam
perusahaan.
- Individual stressor, adalah penyebab stres yang
berasal dari dalam diri individu, misalnya tipe kepribadian seseorang,
kontrol personal dan tingkat kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri
sendiri, tingkat ketabahan dalam menghadapi konflik peran serta
ketidakjelasan peran.
Cooper
(dalam Rice, 1999) memberikan daftar lengkap stressor dari sumber
pekerjaan yang tertera pada tabel berikut:
Stressor
Dari Stres Kerja |
Faktor Yang Mempengaruhi
(Hal-hal Yang Mungkin Terjadi Di Lapangan) |
Konsekuensi Kondisi Yang
Mungkin Muncul |
Kondisi pekerjaan
|
|
|
Stress karena peran
|
|
|
Faktor
interpersonal
|
|
|
Perkembangan karir
|
|
|
Struktur organisasi
|
|
|
Tampilan rumah-pekerjaan
|
|
|
Dampak Stres Kerja
Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya (Rice, 1999). Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya.
Sedangkan Arnold (1986) menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan.
Penelitian yang dilakukan Halim (1986) di Jakarta dengan menggunakan 76 sampel manager dan mandor di perusahaan swasta menunjukkan bahwa efek stres yang mereka rasakan ada dua. Dua hal tersebut adalah:
Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya (Rice, 1999). Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya.
Sedangkan Arnold (1986) menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan.
Penelitian yang dilakukan Halim (1986) di Jakarta dengan menggunakan 76 sampel manager dan mandor di perusahaan swasta menunjukkan bahwa efek stres yang mereka rasakan ada dua. Dua hal tersebut adalah:
- Efek pada fisiologis mereka, seperti: jantung berdegup
kencang, denyut jantung meningkat, bibir kering, berkeringat, mual.
- Efek pada psikologis mereka,
dimana mereka merasa tegang, cemas, tidak bisa berkonsentrasi, ingin pergi
ke kamar mandi, ingin meninggalkan situasi stres.
Bagi
perusahaan, konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung adalah
meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara
psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi,
hingga turnover (Greenberg & Baron, 1993; Quick & Quick, 1984;
Robbins, 1993).
Terry Beehr dan John Newman (dalam Rice, 1999) mengkaji ulang beberapa kasus stres pekerjaan dan menyimpulkan tiga gejala dari stres pada individu, yaitu:
Terry Beehr dan John Newman (dalam Rice, 1999) mengkaji ulang beberapa kasus stres pekerjaan dan menyimpulkan tiga gejala dari stres pada individu, yaitu:
1. Gejala psikologis
Berikut
ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil penelitian
mengenai stres pekerjaan :
- Kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah
tersinggung
- Perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam (kebencian)
- Sensitif dan hyperreactivity
- Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi
- Komunikasi yang tidak efektif
- Perasaan terkucil dan terasing
- Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
- Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan
kehilangan konsentrasi
- Kehilangan spontanitas dan kreativitas
- Menurunnya rasa percaya diri
2. Gejala fisiologis
Gejala-gejala
fisiologis yang utama dari stres kerja adalah:
- Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan
kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular
- Meningkatnya sekresi dari hormon stres (contoh:
adrenalin dan noradrenalin)
- Gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung)
- Meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan
- Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami
sindrom kelelahan yang kronis (chronic fatigue syndrome)
- Gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi
yang ada
- Gangguan pada kulit
- Sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah,
ketegangan otot
- Gangguan tidur
- Rusaknya fungsi imun tubuh,
termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker
3. Gejala perilaku
Gejala-gejala
perilaku yang utama dari stres kerja adalah:
- Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari
pekerjaan
- Menurunnya prestasi (performance) dan
produktivitas
- Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan
- Perilaku sabotase dalam pekerjaan
- Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai
pelampiasan, mengarah ke obesitas
- Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai
bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba,
kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi
- Meningkatnya kecenderungan berperilaku beresiko tinggi,
seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi
- Meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas
- Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan
keluarga dan teman
- Kecenderungan untuk melakukan
bunuh diri
Ada
beberapa alasan mengapa masalah stres yang berkaitan dengan
organisasi perlu diangkat ke permukaan pada saat ini (Nimran, 1999:79-80).
Di antaranya adalah:
organisasi perlu diangkat ke permukaan pada saat ini (Nimran, 1999:79-80).
Di antaranya adalah:
- Masalah stres adalah masalah yang akhir-akhir ini
hangat dibicarakan, dan posisinya sangat penting dalam kaitannya dengan
produkttfitas kerja karyawan.
- Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersumber
dari luar organisasi,
stress juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam
organisasi. Oleh karenanya perlu disadari dan dipahami keberadaannya. - Pemahaman akan sumber-sumber stres yang disertai dengan
pemahaman
terhadap cara-cara mengatasinya, adalah penting sekali bagi karyawan dan
siapa saja yang terlibat dalam organisasi demi kelangsungan organisasi yang
sehat dan efektif. - Banyak di antara kita yang hampir pasti merupakan
bagian dari satu atau
beberapa organisasi, baik sebagai atasan maupun sebagai bawahan, pernah
mengalami stres meskipun dalam taraf yang amat rendah. - Dalam zaman kemajuan di segala
bidang seperti sekarang ini manusia
semakin sibuk. Di situ pihak peraiatan kerja semakin modern dan efisien,
dan di lain pihak beban kerja di satuan-satuan organisasi juga semakin
bertambah. Keadaan ini tentu saja akan menuntut energi pegawai yang lebih
besar dari yang sudah-sudah. Sebagai akibatnya, pengalaman-pengalaman
yang disebut stres dalam taraf yang cukup tinggi menjadi semakin terasa.
Masalah-rnasalah
tentang stres kerja pada dasarnya sering dikaitkan dengan
pengertian stres yang terjadi di lingkungan pekerjaan, yaitu dalam proses interaksi
antara seorang karyawan dengan aspek-aspek pekerjaannya. Di dalam
membicarakan stres kerja ini perlu terlebih dahulu mengerti pengertian stres secara
umum.
pengertian stres yang terjadi di lingkungan pekerjaan, yaitu dalam proses interaksi
antara seorang karyawan dengan aspek-aspek pekerjaannya. Di dalam
membicarakan stres kerja ini perlu terlebih dahulu mengerti pengertian stres secara
umum.
Pengertian Stres
Menurut Charles D, Spielberger (dalam Ilandoyo, 2001:63) menyebutkan
bahwa stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya
obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah
berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan
yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.
Cary Cooper dan Alison Straw (1995:8-15) mengemukakan gejala stres
dapat berupa tanda-tanda berikut ini:
- Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkongan
kering, tangan
lembab, rnerasa panas, otot-otot tegang, pencemaan terganggu, sembelit, letih yang
tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah. - Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih,
jengkel, saiah paham,
tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, tidak menarik,
kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jemih, sulit membuat
kcputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan
hilangnya minat terhadap orang lain. - Watak dan kepribadian, yaitu
sikap hati-hati menjadi cermat yang
berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan,
penjengkel menjadi meledak-ledak.
Sedangkan gejala stres di tempat kerja, yaitu
meliputi:
- Kepuasan kerja rendah
- Kinerja yang menurun
- Semangat dan energi menjadi hilang
- Komunikasi tidak lancar
- Pengambilan keputusan jelek
- Kreatifitas dan inovasi kurang
- Bergulat pada tugas-tugas yang
tidak produktif.
Semua
yang disebutkan di atas perlu dilihat dalam hubungannya dengan
kualitas kerja dan interaksi normal individu sebelumnya.
Menurut Braham (dalam Handoyo; 2001:68), gejala stres dapat bcrupa
tanda-tanda berikut ini:
kualitas kerja dan interaksi normal individu sebelumnya.
Menurut Braham (dalam Handoyo; 2001:68), gejala stres dapat bcrupa
tanda-tanda berikut ini:
- Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur lidak teratur,
sakit kepala, sulit buang air
besar, adanya gangguan pencemaan, radang usus, kuiit gatal-gatal, punggung
terasa sakit, urat-urat pada bahu dan !eher terasa tegang, keringat berlebihan,
berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, kehilangan
energi. - Emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung dan
terlalu sensitif,
gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis dan
depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah bermusuhan serta mudah
menyerang, dan kelesuan mental. - Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya
ingat menurun, sulit
untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi satu
pikiran saja. - Interpersonal, yailu acuh dan
mendiamkan orang lain, kepercayaan pada
orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang mencari
kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup din secara
berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain.
Dari
beberapa uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa stres merupakan
suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi
seseorang dimana ia terpaksa memberikan tanggapan melcbihi kcrnampuan
penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan eksternal (lingkungan). Stres yang
terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi
lingkungannya. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai
macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
Pengertian Stres Kerja
Gibson et al (dalam Yulianti, 2000:9) mengemukakan bahwa stress kerja
dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres
sebagai respon dan stres sebagai stimulus-respon. Stres sebagai stimulus
merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus
memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk
memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai
konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu.
Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai konsekuensi dari
interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang tidak
sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan hasil interaksi
unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu untuk
memberikan tanggapan.
Luthans (dalam Yulianti, 2000:10) mendefinisikan stres sebagai suatu
tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan
proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan Hngkungan, situasi atau
peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang,
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan
lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda.
Masalah Stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting
diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat
adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan
yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses beriikir dan kondisi fisik
individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami
beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja
mereka, seperti : mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks, emosi yang tidak
stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan
dalam masalah tidur.
Di kalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat dan
kesamaan persepsi tentang batasan stres. Baron & Greenberg (dalam Margiati,
1999:71), mendefinisikan stres sebagai reaksi-reaksi emosional dan psikologis
yang terjadi pada situasi dimana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa
mengatasinya. Aamodt (dalam Margiati, 1999:71) memandangnya sebagai respon
adaptif yang merupakan karakteristik individual dan konsekuensi dan tindakan
ekstcrnai, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik maupun psikologis.
Berbeda dengan pakar di atas, Landy (dalam Margiati, 1999:71) memahaminya
sebagai ketidakseimbangan keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga
menimbulkan konsekuensi pcnting bagi dirinya. Robbins memberikan definisi
stres sebagai suatu kondisi dinamis di mana individu dihadapkan pada kesempatan,
hambatan dan keinginan dan hasil yang diperoleh sangatlah penling tetapi tidak
dapat dipastikan (Robbins dafam Dwiyanti, 2001:75).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah
dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan
dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua
kondisi pekerjaan. Adanya bcberapa atribut tertentu dapat rnempengaruhi daya
tahan stres seorang karyawan.
Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja
Terdapat dua faktor penyebab atau sumber muncuinya stres atau stres kerja,
yaitu faktor Hngkungan kerja dan faktor personal (Dwiyanti, 2001:75). Faktor
lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan
sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe
kepribadian, perisliwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi
keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri. Betapapun faktor kedua
tidak secara langsung berhubungan dengan kondisi pekerjaan, namun karena
dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar, maka faktor pribadi ditcmpatkan
sebagai sumber atau penyebab munculnya stres. Secara umum dikelompokkan
sebagai berikut (Dwiyanti, 2001:77-79):
suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi
seseorang dimana ia terpaksa memberikan tanggapan melcbihi kcrnampuan
penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan eksternal (lingkungan). Stres yang
terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi
lingkungannya. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai
macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.
Pengertian Stres Kerja
Gibson et al (dalam Yulianti, 2000:9) mengemukakan bahwa stress kerja
dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres
sebagai respon dan stres sebagai stimulus-respon. Stres sebagai stimulus
merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus
memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk
memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai
konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu.
Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai konsekuensi dari
interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang tidak
sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan hasil interaksi
unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu untuk
memberikan tanggapan.
Luthans (dalam Yulianti, 2000:10) mendefinisikan stres sebagai suatu
tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan
proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan Hngkungan, situasi atau
peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang,
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan
lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda.
Masalah Stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting
diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat
adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan
yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses beriikir dan kondisi fisik
individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami
beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja
mereka, seperti : mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks, emosi yang tidak
stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan
dalam masalah tidur.
Di kalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat dan
kesamaan persepsi tentang batasan stres. Baron & Greenberg (dalam Margiati,
1999:71), mendefinisikan stres sebagai reaksi-reaksi emosional dan psikologis
yang terjadi pada situasi dimana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa
mengatasinya. Aamodt (dalam Margiati, 1999:71) memandangnya sebagai respon
adaptif yang merupakan karakteristik individual dan konsekuensi dan tindakan
ekstcrnai, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik maupun psikologis.
Berbeda dengan pakar di atas, Landy (dalam Margiati, 1999:71) memahaminya
sebagai ketidakseimbangan keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga
menimbulkan konsekuensi pcnting bagi dirinya. Robbins memberikan definisi
stres sebagai suatu kondisi dinamis di mana individu dihadapkan pada kesempatan,
hambatan dan keinginan dan hasil yang diperoleh sangatlah penling tetapi tidak
dapat dipastikan (Robbins dafam Dwiyanti, 2001:75).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah
dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan
dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua
kondisi pekerjaan. Adanya bcberapa atribut tertentu dapat rnempengaruhi daya
tahan stres seorang karyawan.
Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja
Terdapat dua faktor penyebab atau sumber muncuinya stres atau stres kerja,
yaitu faktor Hngkungan kerja dan faktor personal (Dwiyanti, 2001:75). Faktor
lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan
sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe
kepribadian, perisliwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi
keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri. Betapapun faktor kedua
tidak secara langsung berhubungan dengan kondisi pekerjaan, namun karena
dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar, maka faktor pribadi ditcmpatkan
sebagai sumber atau penyebab munculnya stres. Secara umum dikelompokkan
sebagai berikut (Dwiyanti, 2001:77-79):
- Tidak adanya dukungan sosial. Artinya, stres akan
cendcrung muncul pada
para karyawan yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka.
Dukungan sosial di sini bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun
lingkungan keluarga. Banyak kasus menunjukkan bahwa, para karyawan yang
mengalami stres kerja adalah mercka yang tidak mendapat dukungan (khususnya
moril) dari keluarga, seperti orang tua, mertua, anak, teman dan semacamnya.
Begitu juga ketika seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan sekerjanya
(baik pimpinan maupun bawahan) akan cenderung lebih mudah terkena sires. Hal
ini disebabkan oleh tidak adanya dukungan social yang menyebabkan
ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya. - Tidak adanya kesempatan bcrpartisipasi dalam pembuatan
keputusan di
kantor. Hal ini berkaitan dengan hak dan kewenangan seseorang dalam
menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang mengalami stres kerja ketika
mereka tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi tanggung jawab dan
kewcnangannya. Stres kerja juga bisa terjadi ketika seorang karyawan tidak
dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut dirinya. - Pelecehan seksual. Yakni, kontak atau komunikasi yang
berhubungan atau
dikonotasikan berkaitan dengan seks yang tidak diinginkan. Pelecehan seksual ini
bisa dimulai dart yang paling kasar seperti memegang bagian badan yang sensitif,
mengajak kencan dan semacamnya sampai yang paling halus berupa rayuan, pujian
bahkan senyuman yang tidak pada konteksnya. Dari banyak kasus pelecehan
seksual yang sering menyebabkan stres kerja adalah perlakuan kasar atau
pengamayaan fisik dari lawan jenis dan janji promosi jabatan namun tak kunjung
terwujud hanya karena wanita.. Stres akibat pelecehan seksual banyak terjadi pada
negara yang tingkat kesadaran warga (khususnya wanita) terhadap persamaan jenis
kclamin cukup tinggi, namun tidak ada undang-undang yang melindungmya
(Baron and Greenberg dalam Margiati, 1999:72). - Kondisi lingkungan kerja. Kondisi lingkungan kerja
fisik ini bisa berupa
suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, tcrlalu sesak, kurang cahaya, dan
semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan
seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu
dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi
atau arus udara. Di samping itu, kebisingan juga memberi andil tidak kecil
munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan
dibanding yang lain (Muchinsky dalam Margiati, 1999:73). - Manajemen yang tidak sehat. Banyak orang yang stres
dalam pekerjaan
ketika gaya kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni seorang
pemimpin yang sangat sensitif, tidak percaya orang lain (khususnya bawahan),
perfeksionis, terlalu mendramatisir suasana hati atau peristiwa sehingga
mempengaruhi pembuatan keputusan di tempat kerja. Situasi kerja atasan selalu
mencurigai bawahan, membesarkan peristiwa/kejadian yang semestinya sepele dan
semacamnya, seseorang akan tidak leluasa menjalankan pekerjaannya, yang pada
akhirnya akan menimbulkan stres (Minner dalam Margiati, 1999:73). - Tipe kepribadian. Seseorang dengan kcpribadian tipe A
cenderung
mengalami sires dibanding kepribadian tipe B. Bcbcrapa ciri kepribadian tipe A ini
adalah sering merasa diburu-buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran,
konsentrasi pada lebih dan satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung tidak
puas terhadap hidup (apa yang diraihnya), cenderung berkompetisi dengan orang
lain meskipun dalam situasi atau peristiwa yang non kompetitif. Dengan begitu,
bagi pihak perusahaan akan selalu mengalami dilema kctika mengambil pegawai
dengan kepribadian tipe A. Sebab, di satu sisi akan memperoleh hasil yang bagus
dan pekerjaan mereka, namun di sisi lain perusahaan akan mendapatkan pegawai
yang mendapat resiko serangan/sakit jantung (Minner dalam Margiati, 1999:73). - Peristiwa/pengalaman pribadi.
Stres kerja sering disebabkan pengalaman
pribadi yang menyakitkan, kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit atau
gagal sekolah, kehamilan tidak diinginkan, peristiwa traumatis atau menghadapi
masalah (pelanggaran) hukum. Banyak kasus menunjukkan bahwa tingkat stres
paling tinggi terjadi pada seseorang yang ditinggal mati pasangannya, sementara
yang paling rendah disebabkan oleh perpindahan tempat tinggal. Disamping itu,
ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari, kesepian, perasaan tidak aman,
juga termasuk kategori ini (Baron & Greenberg dalam Margiati, 1999:73).
Davis
dan Newstrom (dalam Margiati, 1999:73) stres kerja disebabkan:
- Adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak
selalu menjadi
penyebab stres, akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding
dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi
karyawan. - Supervisor yang kurang pandai. Scorang karyawan dalam
menjalankan tugas
sehari-harinya biasanya di hawah bimbingan sekaligus mempertanggungjawabkan
kepada supervisor. Jika seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan,
ia akan membimbing dan memberi pengarahan atau instruksi secara baik dan
benar. - Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Karyawan
biasanya mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas
kantor/perusahaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan bcrkaitan dengan
keahlian, pcngalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak
atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang lerbatas. Akibatnya,
karyawan dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang
ditetapkan atasan. - Kurang mendapat tanggungjawab yang memadai. Faktor ini
berkaitan
dengan hak dan kewajiban karyawan. Atasan sering memberikan tugas kepada
bawahannya tanpa diikuti kewenangan (hak) yang memadai. Sehingga, jika harus
mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada
atasan. - Ambiguitas peran. Agar menghasilkan performan yang
baik, karyawan perlu
mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan serta
scope dan tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang
definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas
peran. - Perbedaan nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya
terjadi pada para
karyawan atau manajer yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi
yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme). - Frustrasi. Dalam lingkungan kerja, perasaan frustrasi
memang bisa
disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan frustrasi
kerja adalah terhambatnya promosi, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta
penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima. - Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal terscbul
tidak umum. Situasi
ini bisatimbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir
yang di lalui atau mutasi pada perusahaan lain, meskipun dalam satu grup namun
lokasinya dan status jabatan serta status perusahaannya berada di bawah
perusahaan pertama. - Konflik peran. Terdapat dua
tipe umum konflik peran yaitu (a) konflik peran
intersender, dimana pegawai berhadapan dengan harapan organisasi terhadapnya
yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender, konflik peran
ini kebanyakan terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki jabatan di dua
struktur. Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang
tidak sama, akan berdampak pada karyawan atau manajer yang berada pada posisi
dibawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu alternative.
Sumber
stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau
yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam
pembangkit tetapi dari beberapa pembangkit stres. Sebagian besar dari waktu
manusia bekerja. Karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Pembangkit stres di pekerjaan
merupakan pembangkit stres yang besar perannya terhadap kurang berfungsinya
atau jatuh sakitnya seseorang tenaga kerja yang bekerja. Faktor-faktor di pekerjaan
yang bcrdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke
dalam lima kategon besar (lihat Gambar 2.1) yaitu faktor-faktor intrinsik dalam
pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam
pekerjaan, serta stniktur dan iklim organisasi Hurrel (dalam Munandar, 2001:381 -
401):
yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam
pembangkit tetapi dari beberapa pembangkit stres. Sebagian besar dari waktu
manusia bekerja. Karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Pembangkit stres di pekerjaan
merupakan pembangkit stres yang besar perannya terhadap kurang berfungsinya
atau jatuh sakitnya seseorang tenaga kerja yang bekerja. Faktor-faktor di pekerjaan
yang bcrdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke
dalam lima kategon besar (lihat Gambar 2.1) yaitu faktor-faktor intrinsik dalam
pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam
pekerjaan, serta stniktur dan iklim organisasi Hurrel (dalam Munandar, 2001:381 -
401):
- Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan
Termasuk dalam kategori ini ialah tuntutan fisik dan tuntutan tugas.
Tuntutan fisik misalnya faktor kebisingan. Sedangkan faktor-faktor tugas mencakup: kerja malam, beban kerja, dan penghayatan dari resiko dan bahaya. - Peran Individu dalam Organisasi
Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya
setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai
dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya.
Namun demikian tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya
tanpa menimbulkan masaiah. Kurang baik berfungsinya peran, yang merupakan
pembangkit stres yaitu meiiputi: konflik peran dan ketaksaan peran (role
ambiguity). - Pengembangan Karir
Unsur-unsur penting pengembangan karir meliputi: - · Peluang untuk menggunakan ketrampilan jabatan
sepenuhnya
- · Peluang mengembangkan kctrampilan yang baru
- · Penyuluhan karir untuk memudahkan
keputusan-keputusan yang
menyangkut karir.
Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup
ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.
Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup
ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.
- Hubungan dalam Pekerjaan
Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya
kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah
dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ketaksaan
peran yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai
antara pekerja dan ketegangan psikologikal dalam bcntuk kepuasan pekerjaan yang
rendah, penurunan dari kodisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekanrekan
kerjanya (Kahn dkk, dalam Munandar, 2001:395). - Struktur dan iklim Organisasi
Faktor stres yang dikenali dalam kategorf ini adalah terpusat pada sejauh
mana tenaga kerja dapat tcrlihat atau berperan serta pada support sosial.
Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan
dengan suasana hati dan perilaku negalif. Peningkatan peluang untuk berperan
serta menghasilkan peningkatan produktivitas, dan peningkatan taraf dari
kesehatan mental dan fisik. - Tuntutan dari Luar Organisasi/Pekerjaan
Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur kehidupan
seseorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja
di dalam satu organisasi, dan dapat memberi tekanan pada individu. Isu-isu tentang
keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi dan
organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan
perusahaan, semuanya dapat merupakan tekanan pada individu dalam
pekerjaannya, sebagaimana halnya stres dalam pekerjaan mempunyai dampak yang
negatif pada kehidupan keluarga dan pribadi. - Ciri-ciri Individu
Menurut pandangan intcraktifdari stres, stres ditcntukan pula oleh
individunya scndiri, sejauh mana ia melihat situasinya scbagai penuh stres. Reaksireaksi
sejauh mana ia melihat situasinya sebagai penuh stres. Reaksi-reaksi
psikologis, fisiologis, dan dalam bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari
interaksi situasi dengan individunya, mcncakup ciri-ciri kepribadian yang khusus
dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai,
pengalaman masa lalu, kcadaan kehidupan dan kecakapan (antara lain intcligensi,
pendidikan, pelatihan, pembelajaran). Dengan demikian, faktor-faktor dalam diri
individu berfungsi sebagai faktor pengaruh antara rangsang dari lingkungan yang
merupakan pembangkit stres potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang
menentukan bagaimana, dalam kenyataannya, individu bereaksi terhadap
pembangkit stres potensial.
Dampak Stres Kerja Pada Karyawan
Pengaruh stres kerja ada yang menguntungkan maupun merugikan bagi
perusahaan. Namun pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan perusahaan
diharapkan akan rnemacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan
scbaik-baiknya. Reaksi terhadap stress dapat merupakan reaksi bersifat psikis
maupun fisik. Biasanya pekerja atau karyawan yang stress akan menunjukkan
perubahan perilaku. Perubahan perilaku tcrjadi pada din manusia sebagai usaha
mengatasi stres. Usaha mengatasi stres dapat berupa perilaku melawan stres
(flight) atau freeze (berdiam diri). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga reaksi ini
biasanya dilakukan secara bergantian, tergantung situasi dan bentuk stres.
Perubahan-perubahan ini di tempat kerja merupakan gejala-gejala individu yang
mengalami stres antara lain (Margiati, 1999:78-79) : (a) bekerja melewati batas
kemampuan, (b) kelerlambatan masuk kerja yang sering, (c) ketidakhadiran
pekerjaan, (d) kesulitan membuat kepulusan, (e) kesalahan yang sembrono, (f)
kelaiaian menyelesaikan pekerjaan, (g) lupa akan janji yang telah dibuat dan
kegagalan diri sendiri, (h) kesulitan berhubungan dengan orang lain, (i) kerisauan
tentang kesalahan yang dibuat, (j) Menunjukkan gejala fisik seperti pada alat
pencernaan, tekanan darah tinggi, radang kulit, radang pernafasan.
Strategi Manajemen Stres Kerja
Stres dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi tanpa
memperoleh dampaknya yang negatif. Manajemen stres lebih daripada sekedar
mengatasinya, yakni betajar menanggulanginya secara adaplif dan efektif. Hampir
sama pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang
harus dicoba. Sebagian para pengidap stres di tempat kerja akibat persaingan,
sering melampiaskan dengan cara bekerja lebih keras yang berlebihan. Ini
bukanlah cara efektif yang bahkan tidak menghasilkan apa-apa untuk memecahkan
sebab dari stres, justru akan menambah masalah lebih jauh. Sebelum masuk ke
cara-cara yang lebih spesifik untuk mengatasi stressor tertentu, harus
diperhitungkan beberapa pedoman umum untuk memacu perubahan dan
penaggulangan. Pemahaman prinsip dasar, menjadi bagian penting agar seseorang
mampu merancang solusi terhadap masalah yang muncul terutama yang berkait
dengan penyebab stres dalam hubungannya di tempat kerja. Dalam hubungannya
dengan tempat kerja, stres dapat timbul pada beberapa tingkat, berjajar dari
ketidakmampuan bekerja dengan baik dalam peranan tertentu karena
kesalahpahaman atasan atau bawahan. Atau bahkan dari sebab tidak adanya
ketrampilan (khususnya ketrampilan manajemen) hingga sekedar tidak menyukai
seseorang dengan siapa harus bekerja secara dekat (Margiati, 1999:76).
Suprihanto dkk (2003:63-64) mengatakan bahwa dari sudut pandang
organisasi, manajemen mungkin tidak khawatir jika karyawannya mengalami stres
yang ringan. Alasannya karena pada tingkat stres lertentu akan memberikan akibat
positif, karena hal ini akan mendesak mereka untuk melakukan tugas lebih baik.
Tetapi pada tingkat stres yang tinggi atau stres ringan yang berkepanjangan akan
membuat menurunnya kinerja karyawan. Stres ringan mungkin akan memberikan
keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang individu hal tersebut bukan
merupakan hal yang diinginkan. Maka manajemen mungkin akan berpikir untuk
menibcrikan tugas yang menyertakan stress ringan bagi karyawan untuk
memberikan dorongan bagi karyawan, namun sebaliknya itu akan dirasakan
sebagai tekanan oleh si pekerja. Maka diperlukan pendekatan yang tepat dalam
mengelola stres, ada dua pendekatan yaitu pendekatan individu dan pendekatan
organisasi.
Pengaruh stres kerja ada yang menguntungkan maupun merugikan bagi
perusahaan. Namun pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan perusahaan
diharapkan akan rnemacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan
scbaik-baiknya. Reaksi terhadap stress dapat merupakan reaksi bersifat psikis
maupun fisik. Biasanya pekerja atau karyawan yang stress akan menunjukkan
perubahan perilaku. Perubahan perilaku tcrjadi pada din manusia sebagai usaha
mengatasi stres. Usaha mengatasi stres dapat berupa perilaku melawan stres
(flight) atau freeze (berdiam diri). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga reaksi ini
biasanya dilakukan secara bergantian, tergantung situasi dan bentuk stres.
Perubahan-perubahan ini di tempat kerja merupakan gejala-gejala individu yang
mengalami stres antara lain (Margiati, 1999:78-79) : (a) bekerja melewati batas
kemampuan, (b) kelerlambatan masuk kerja yang sering, (c) ketidakhadiran
pekerjaan, (d) kesulitan membuat kepulusan, (e) kesalahan yang sembrono, (f)
kelaiaian menyelesaikan pekerjaan, (g) lupa akan janji yang telah dibuat dan
kegagalan diri sendiri, (h) kesulitan berhubungan dengan orang lain, (i) kerisauan
tentang kesalahan yang dibuat, (j) Menunjukkan gejala fisik seperti pada alat
pencernaan, tekanan darah tinggi, radang kulit, radang pernafasan.
Strategi Manajemen Stres Kerja
Stres dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi tanpa
memperoleh dampaknya yang negatif. Manajemen stres lebih daripada sekedar
mengatasinya, yakni betajar menanggulanginya secara adaplif dan efektif. Hampir
sama pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang
harus dicoba. Sebagian para pengidap stres di tempat kerja akibat persaingan,
sering melampiaskan dengan cara bekerja lebih keras yang berlebihan. Ini
bukanlah cara efektif yang bahkan tidak menghasilkan apa-apa untuk memecahkan
sebab dari stres, justru akan menambah masalah lebih jauh. Sebelum masuk ke
cara-cara yang lebih spesifik untuk mengatasi stressor tertentu, harus
diperhitungkan beberapa pedoman umum untuk memacu perubahan dan
penaggulangan. Pemahaman prinsip dasar, menjadi bagian penting agar seseorang
mampu merancang solusi terhadap masalah yang muncul terutama yang berkait
dengan penyebab stres dalam hubungannya di tempat kerja. Dalam hubungannya
dengan tempat kerja, stres dapat timbul pada beberapa tingkat, berjajar dari
ketidakmampuan bekerja dengan baik dalam peranan tertentu karena
kesalahpahaman atasan atau bawahan. Atau bahkan dari sebab tidak adanya
ketrampilan (khususnya ketrampilan manajemen) hingga sekedar tidak menyukai
seseorang dengan siapa harus bekerja secara dekat (Margiati, 1999:76).
Suprihanto dkk (2003:63-64) mengatakan bahwa dari sudut pandang
organisasi, manajemen mungkin tidak khawatir jika karyawannya mengalami stres
yang ringan. Alasannya karena pada tingkat stres lertentu akan memberikan akibat
positif, karena hal ini akan mendesak mereka untuk melakukan tugas lebih baik.
Tetapi pada tingkat stres yang tinggi atau stres ringan yang berkepanjangan akan
membuat menurunnya kinerja karyawan. Stres ringan mungkin akan memberikan
keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang individu hal tersebut bukan
merupakan hal yang diinginkan. Maka manajemen mungkin akan berpikir untuk
menibcrikan tugas yang menyertakan stress ringan bagi karyawan untuk
memberikan dorongan bagi karyawan, namun sebaliknya itu akan dirasakan
sebagai tekanan oleh si pekerja. Maka diperlukan pendekatan yang tepat dalam
mengelola stres, ada dua pendekatan yaitu pendekatan individu dan pendekatan
organisasi.
- Pendekatan Individual
Seorang karyawan dapat berusaha sendiri untuk mcngurangi level stresnya.
Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu; pengelolaan waktu,
latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu
yang baik maka seorang karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa
adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan
kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang
berat. Selain itu untuk mengurangi sires yang dihadapi pekerja pcrlu dilakukan
kegiatan-kegiatan santai. Dan sebagai stratcgi terakhir untuk mengurangi stres
adalah dengan roengumpulkan sahabat, kolega, keluarga yang akan dapat
memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya.
Pendekatan Organisasional
Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur
organisasi yang scmuanya dikendalikan oleh manajemen, schingga faktor-faktor
itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh
manajemen untuk mengurangi stres karyawannya adalah melalui seleksi dan
penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerjaan, pengambilan keputusan
partisipatif, komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan. Melalui
strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan
serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan terhadap kondisi
fisik dan mental.
Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur
organisasi yang scmuanya dikendalikan oleh manajemen, schingga faktor-faktor
itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh
manajemen untuk mengurangi stres karyawannya adalah melalui seleksi dan
penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerjaan, pengambilan keputusan
partisipatif, komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan. Melalui
strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan
serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan terhadap kondisi
fisik dan mental.
Bro...bisa tulisin ga sumbernya Cooper (dalam Rice, 1999) yang tabel itu, saya butuh bantuan..terimakasi
ReplyDeleteKalau yang aku tahu Bro, bukunya itu berjudul "Stress and Health - Phillip L. Rice". Cari aja di Google kalau tidak yakin Bro. Terima kasih.
Delete