Frustrasi, dari bahasa Latin frustratio, adalah perasaan kecewa atau jengkel akibat terhalang dalam pencapaian tujuan. Semakin penting tujuannya, semakin besar frustrasi dirasakan. Rasa frustrasi bisa menjurus ke stress.
Frustrasi dapat berasal dari dalam (internal) atau dari luar diri (eksternal) seseorang yang mengalaminya. Sumber yang berasal dari dalam termasuk kekurangan diri sendiri seperti kurangnya rasa percaya diri atau ketakutan pada situasi sosial yang menghalangi pencapaian tujuan. Konflik juga dapat menjadi sumber internal dari frustrasi saat seseorang mempunyai beberapa tujuan yang saling berinterferensi satu sama lain. Penyebab eksternal dari frustrasi mencakup kondisi-kondisi di luar diri seperti jalan yang macet, tidak punya uang, atau tidak kunjung mendapatkan jodoh.

Pengertian  Stres 
Menurut Morgan dan King,
 
“…as an internal state which can be caused by physical demands on the body (disease conditions, exercise, extremes of temperature, and the like) or by environmental and social situations which are evaluated as potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our resources for coping” (Morgan & King, 1986: 321)
Jadi stres adalah suatu keadaan yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik (badan), atau lingkungan, dan situasi sosial, yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol.

Stres juga didefinisikan sebagai tanggapan atau proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan subyek (Cooper, 1994).

Menurut Hager (1999), stres sangat bersifat individual dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak ada keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban yang dirasakannya. Namun, berhadapan dengan suatu stressor (sumber stres) tidak selalu mengakibatkan gangguan secara psikologis maupun fisiologis. Terganggu atau tidaknya individu, tergantung pada persepsinya terhadap peristiwa yang dialaminya. Faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang dan penilaian terhadap situasi dan kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi (Diana, 1991). Dengan kata lain, bahwa reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu peristiwa.

Stressor
yang sama dapat dipersepsi secara berbeda, yaitu dapat sebagai peristiwa yang positif dan tidak berbahaya, atau menjadi peristiwa yang berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu dalam hal ini nampaknya sangat menentukan apakah stressor itu dapat berakibat positif atau negatif. Penilaian kognitif tersebut sangat berpengaruh terhadap respon yang akan muncul (Selye, 1956).

Penilaian kognitif bersifat individual differences, maksudnya adalah berbeda pada masing-masing individu. Perbedaan ini disebabkan oleh banyak faktor. Penilaian kognitif itu, bisa mengubah cara pandang akan stres. Dimana stres diubah bentuk menjadi suatu cara pandang yang positif terhadap diri dalam menghadapi situasi yang stressful. Sehingga respon terhadap stressor bisa menghasilkan outcome yang lebih baik bagi individu.
Jenis-jenis  Stres
Quick dan Quick (1984) mengkategorikan jenis stres menjadi dua, yaitu:
  • Eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi, dan tingkat performance yang tinggi.
  • Distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif, dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan, dan kematian.
Pengertian  Stres  Kerja
Definisi stres kerja dapat dinyatakan sebagai berikut :
“Work stress is an individual’s response to work related environmental stressors. Stress as the reaction of organism, which can be physiological, psychological, or behavioural reaction” (Selye, dalam Beehr, et al., 1992: 623)
Berdasarkan definisi di atas, stres kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku. Seperti yang telah diungkapkan di atas, lingkungan pekerjaan berpotensi sebagai stressor kerja. Stressor kerja merupakan segala kondisi pekerjaan yang dipersepsikan karyawan sebagai suatu tuntutan dan dapat menimbulkan stres kerja.
Sumber-sumber Stres Kerja
Banyak ahli mengemukakan mengenai penyebab stres kerja itu sendiri. Soewondo (1992) mengadakan penelitian dengan sampel 300 karyawan swasta di Jakarta, menemukan bahwa penyebab stres kerja terdiri atas 4 (empat) hal utama, yakni:
  1. Kondisi dan situasi pekerjaan
  2. Pekerjaannya
  3. Job requirement seperti status pekerjaan dan karir yang tidak jelas
  4. Hubungan interpersonal
Luthans (1992) menyebutkan bahwa penyebab stres (stressor) terdiri atas empat hal utama, yakni:
  1. Extra organizational stressors, yang terdiri dari perubahan sosial/teknologi, keluarga, relokasi, keadaan ekonomi dan keuangan, ras dan kelas, dan keadaan komunitas/tempat tinggal.
  2. Organizational stressors, yang terdiri dari kebijakan organisasi, struktur organisasi, keadaan fisik dalam organisasi, dan proses yang terjadi dalam organisasi.
  3. Group stressors, yang terdiri dari kurangnya kebersamaan dalam grup, kurangnya dukungan sosial, serta adanya konflik intraindividu, interpersonal, dan intergrup.
  4. Individual stressors, yang terdiri dari terjadinya konflik dan ketidakjelasan peran, serta disposisi individu seperti pola kepribadian Tipe A, kontrol personal, learned helplessness, self-efficacy, dan daya tahan psikologis.
Sedangkan Cooper dan Davidson (1991) membagi penyebab stres dalam pekerjaan menjadi dua, yakni:
  • Group stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari situasi maupun keadaan di dalam perusahaan, misalnya kurangnya kerjasama antara karyawan, konflik antara individu dalam suatu kelompok, maupun kurangnya dukungan sosial dari sesama karyawan di dalam perusahaan.
  • Individual stressor, adalah penyebab stres yang berasal dari dalam diri individu, misalnya tipe kepribadian seseorang, kontrol personal dan tingkat kepasrahan seseorang, persepsi terhadap diri sendiri, tingkat ketabahan dalam menghadapi konflik peran serta ketidakjelasan peran.
Cooper (dalam Rice, 1999) memberikan daftar lengkap stressor dari sumber pekerjaan yang tertera pada tabel berikut:

Stressor
Dari
Stres Kerja
Faktor Yang Mempengaruhi
(Hal-hal Yang Mungkin Terjadi Di Lapangan)
Konsekuensi Kondisi Yang
Mungkin Muncul
Kondisi pekerjaan
  • Beban kerja berlebihan secara kuantitatif
  • Beban kerja berlebihan secara kualitatif
  • Assembly-line hysteria
  • Keputusan yang dibuat oleh seseorang
  • Bahaya fisik
  • Jadwal bekerja
  • Technostress
  • Kelelahan mental dan/atau fisik
  • Kelelahan yang amat sangat dalam bekerja (burnout)
  • Meningkatnya kesensitivan dan ketegangan

Stress karena peran
  • Ketidakjelasan peran
  • Adanya bias dalam membedakan gender dan stereotype peran gender
  • Pelecehan seksual
  • Meningkatnya kecemasan dan ketegangan
  • Menurunnya prestasi pekerjaan
Faktor interpersonal
  • Hasil kerja dan sistem dukungan sosial yang buruk
  • Persaingan politik, kecemburuan dan kemarahan
  • Kurangnya perhatian manajemen terhadap karyawan
  • Meningkatnya ketegangan
  • Meningkatnya tekanan darah
  • Ketidakpuasan kerja
Perkembangan karir
  • Promosi ke jabatan yang lebih rendah dari kemampuannya
  • Promosi ke jabatan yang lebih tinggi dari kemampuannya
  • Keamanan pekerjaannya
  • Ambisi yang berlebihan sehingga mengakibatkan frustrasi
  • Menurunnya produktivitas
  • Kehilangan rasa percaya diri
  • Meningkatkan kesensitifan dan ketegangan
  • Ketidakpuasan kerja
Struktur organisasi
  • Struktur yang kaku dan tidak bersahabat
  • Pertempuran politik
  • Pengawasan dan pelatihan yang tidak seimbang
  • Ketidakterlibatan dalam membuat keputusan

  • Menurunnya motivasi dan produktivitas
  • Ketidakpuasan kerja
Tampilan rumah-pekerjaan
  • Mencampurkan masalah pekerjaan dengan masalah pribadi
  • Kurangnya dukungan dari pasangan hidup
  • Konflik pernikahan
  • Stres karena memiliki dua pekerjaan

  • Meningkatnya konflik dan kelelahan mental
  • Menurunnya motivasi dan produktivitas
  • Meningkatnya konflik pernikahan

Dampak  Stres  Kerja
Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya (Rice, 1999). Konsekuensi pada karyawan ini tidak hanya berhubungan dengan aktivitas kerja saja, tetapi dapat meluas ke aktivitas lain di luar pekerjaan. Seperti tidak dapat tidur dengan tenang, selera makan berkurang, kurang mampu berkonsentrasi, dan sebagainya.

Sedangkan Arnold (1986) menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan.

Penelitian yang dilakukan Halim (1986) di Jakarta dengan menggunakan 76 sampel manager dan mandor di perusahaan swasta  menunjukkan bahwa efek stres yang mereka rasakan ada dua. Dua hal tersebut adalah:
  • Efek pada fisiologis mereka, seperti: jantung berdegup kencang, denyut jantung meningkat, bibir kering, berkeringat, mual.
  • Efek pada psikologis mereka, dimana mereka merasa tegang, cemas, tidak bisa berkonsentrasi, ingin pergi ke kamar mandi, ingin meninggalkan situasi stres.
Bagi perusahaan, konsekuensi yang timbul dan bersifat tidak langsung adalah meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas, dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi, hingga turnover (Greenberg & Baron, 1993; Quick & Quick, 1984; Robbins, 1993).

Terry Beehr dan John Newman (dalam Rice, 1999) mengkaji ulang beberapa kasus stres pekerjaan dan menyimpulkan tiga gejala dari stres pada individu, yaitu:
1. Gejala psikologis
Berikut ini adalah gejala-gejala psikologis yang sering ditemui pada hasil penelitian mengenai stres pekerjaan :
  • Kecemasan, ketegangan, kebingungan dan mudah tersinggung
  • Perasaan frustrasi, rasa marah, dan dendam (kebencian)
  • Sensitif dan hyperreactivity
  • Memendam perasaan, penarikan diri, dan depresi
  • Komunikasi yang tidak efektif
  • Perasaan terkucil dan terasing
  • Kebosanan dan ketidakpuasan kerja
  • Kelelahan mental, penurunan fungsi intelektual, dan kehilangan konsentrasi
  • Kehilangan spontanitas dan kreativitas
  • Menurunnya rasa percaya diri
2. Gejala fisiologis
Gejala-gejala fisiologis yang utama dari stres kerja adalah:
  • Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kecenderungan mengalami penyakit kardiovaskular
  • Meningkatnya sekresi dari hormon stres (contoh: adrenalin dan noradrenalin)
  • Gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung)
  • Meningkatnya frekuensi dari luka fisik dan kecelakaan
  • Kelelahan secara fisik dan kemungkinan mengalami sindrom kelelahan yang kronis (chronic fatigue syndrome)
  • Gangguan pernapasan, termasuk gangguan dari kondisi yang ada
  • Gangguan pada kulit
  • Sakit kepala, sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot
  • Gangguan tidur
  • Rusaknya fungsi imun tubuh, termasuk risiko tinggi kemungkinan terkena kanker
3. Gejala perilaku
Gejala-gejala perilaku yang utama dari stres kerja adalah:
  • Menunda, menghindari pekerjaan, dan absen dari pekerjaan
  • Menurunnya prestasi (performance) dan produktivitas
  • Meningkatnya penggunaan minuman keras dan obat-obatan
  • Perilaku sabotase dalam pekerjaan
  • Perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan) sebagai pelampiasan, mengarah ke obesitas
  • Perilaku makan yang tidak normal (kekurangan) sebagai bentuk penarikan diri dan kehilangan berat badan secara tiba-tiba, kemungkinan berkombinasi dengan tanda-tanda depresi
  • Meningkatnya kecenderungan berperilaku beresiko tinggi, seperti menyetir dengan tidak hati-hati dan berjudi
  • Meningkatnya agresivitas, vandalisme, dan kriminalitas
  • Menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman
  • Kecenderungan untuk melakukan bunuh diri
Ada beberapa alasan mengapa masalah stres yang berkaitan dengan
organisasi perlu diangkat ke permukaan pada saat ini (Nimran, 1999:79-80).
Di antaranya adalah:
  1. Masalah stres adalah masalah yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan, dan posisinya sangat penting dalam kaitannya dengan produkttfitas kerja karyawan.
  2. Selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersumber dari luar organisasi,
    stress juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam
    organisasi. Oleh karenanya perlu disadari dan dipahami keberadaannya.
  3. Pemahaman akan sumber-sumber stres yang disertai dengan pemahaman
    terhadap cara-cara mengatasinya, adalah penting sekali bagi karyawan dan
    siapa saja yang terlibat dalam organisasi demi kelangsungan organisasi yang
    sehat dan efektif.
  4. Banyak di antara kita yang hampir pasti merupakan bagian dari satu atau
    beberapa organisasi, baik sebagai atasan maupun sebagai bawahan, pernah
    mengalami stres meskipun dalam taraf yang amat rendah.
  5. Dalam zaman kemajuan di segala bidang seperti sekarang ini manusia
    semakin sibuk. Di situ pihak peraiatan kerja semakin modern dan efisien,
    dan di lain pihak beban kerja di satuan-satuan organisasi juga semakin
    bertambah. Keadaan ini tentu saja akan menuntut energi pegawai yang lebih
    besar dari yang sudah-sudah. Sebagai akibatnya, pengalaman-pengalaman
    yang disebut stres dalam taraf yang cukup tinggi menjadi semakin terasa.
Masalah-rnasalah tentang stres kerja pada dasarnya sering dikaitkan dengan
pengertian stres yang terjadi di lingkungan pekerjaan, yaitu dalam proses interaksi
antara seorang karyawan dengan aspek-aspek pekerjaannya. Di dalam
membicarakan stres kerja ini perlu terlebih dahulu mengerti pengertian stres secara
umum.

Pengertian Stres

Menurut Charles D, Spielberger (dalam Ilandoyo, 2001:63) menyebutkan
bahwa stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya
obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah
berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan
yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.

Cary Cooper dan Alison Straw (1995:8-15) mengemukakan gejala stres
dapat berupa tanda-tanda berikut ini:
  1. Fisik, yaitu nafas memburu, mulut dan kerongkongan kering, tangan
    lembab, rnerasa panas, otot-otot tegang, pencemaan terganggu, sembelit, letih yang
    tidak beralasan, sakit kepala, salah urat dan gelisah.
  2. Perilaku, yaitu perasaan bingung, cemas dan sedih, jengkel, saiah paham,
    tidak berdaya, tidak mampu berbuat apa-apa, gelisah, gagal, tidak menarik,
    kehilangan semangat, sulit konsentrasi, sulit berfikir jemih, sulit membuat
    kcputusan, hilangnya kreatifitas, hilangnya gairah dalam penampilan dan
    hilangnya minat terhadap orang lain.
  3. Watak dan kepribadian, yaitu sikap hati-hati menjadi cermat yang
    berlebihan, cemas menjadi lekas panik, kurang percaya diri menjadi rawan,
    penjengkel menjadi meledak-ledak.
Sedangkan gejala stres di tempat kerja, yaitu meliputi:
  1. Kepuasan kerja rendah
  2. Kinerja yang menurun
  3. Semangat dan energi menjadi hilang
  4. Komunikasi tidak lancar
  5. Pengambilan keputusan jelek
  6. Kreatifitas dan inovasi kurang
  7. Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif.
Semua yang disebutkan di atas perlu dilihat dalam hubungannya dengan
kualitas kerja dan interaksi normal individu sebelumnya.

Menurut Braham (dalam Handoyo; 2001:68), gejala stres dapat bcrupa
tanda-tanda berikut ini:
  1. Fisik, yaitu sulit tidur atau tidur lidak teratur, sakit kepala, sulit buang air
    besar, adanya gangguan pencemaan, radang usus, kuiit gatal-gatal, punggung
    terasa sakit, urat-urat pada bahu dan !eher terasa tegang, keringat berlebihan,
    berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, kehilangan
    energi.
  2. Emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif,
    gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis dan
    depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah bermusuhan serta mudah
    menyerang, dan kelesuan mental.
  3. Intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit
    untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi satu
    pikiran saja.
  4. Interpersonal, yailu acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan pada
    orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang mencari
    kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup din secara
    berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain.
Dari beberapa uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa stres merupakan
suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi
seseorang dimana ia terpaksa memberikan tanggapan melcbihi kcrnampuan
penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan eksternal (lingkungan). Stres yang
terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi
lingkungannya. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai
macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.

Pengertian Stres Kerja

Gibson et al (dalam Yulianti, 2000:9) mengemukakan bahwa stress kerja
dikonseptualisasi dari beberapa titik pandang, yaitu stres sebagai stimulus, stres
sebagai respon dan stres sebagai stimulus-respon. Stres sebagai stimulus
merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus
memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk
memberikan tanggapan terhadap stresor. Pendekatan ini memandang stres sebagai
konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu.
Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai konsekuensi dari
interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang tidak
sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan hasil interaksi
unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu untuk
memberikan tanggapan.

Luthans (dalam Yulianti, 2000:10) mendefinisikan stres sebagai suatu
tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan
proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan Hngkungan, situasi atau
peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang,
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan
lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda.
Masalah Stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting
diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat
adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan
yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses beriikir dan kondisi fisik
individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami
beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja
mereka, seperti : mudah marah dan agresi, tidak dapat relaks, emosi yang tidak
stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan
dalam masalah tidur.

Di kalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat dan
kesamaan persepsi tentang batasan stres. Baron & Greenberg (dalam Margiati,
1999:71), mendefinisikan stres sebagai reaksi-reaksi emosional dan psikologis
yang terjadi pada situasi dimana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa
mengatasinya. Aamodt (dalam Margiati, 1999:71) memandangnya sebagai respon
adaptif yang merupakan karakteristik individual dan konsekuensi dan tindakan
ekstcrnai, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik maupun psikologis.
Berbeda dengan pakar di atas, Landy (dalam Margiati, 1999:71) memahaminya
sebagai ketidakseimbangan keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga
menimbulkan konsekuensi pcnting bagi dirinya. Robbins memberikan definisi
stres sebagai suatu kondisi dinamis di mana individu dihadapkan pada kesempatan,
hambatan dan keinginan dan hasil yang diperoleh sangatlah penling tetapi tidak
dapat dipastikan (Robbins dafam Dwiyanti, 2001:75).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah
dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan
dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua
kondisi pekerjaan. Adanya bcberapa atribut tertentu dapat rnempengaruhi daya
tahan stres seorang karyawan.

Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja

Terdapat dua faktor penyebab atau sumber muncuinya stres atau stres kerja,
yaitu faktor Hngkungan kerja dan faktor personal (Dwiyanti, 2001:75). Faktor
lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan
sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe
kepribadian, perisliwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi
keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri. Betapapun faktor kedua
tidak secara langsung berhubungan dengan kondisi pekerjaan, namun karena
dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar, maka faktor pribadi ditcmpatkan
sebagai sumber atau penyebab munculnya stres. Secara umum dikelompokkan
sebagai berikut (Dwiyanti, 2001:77-79):
  1. Tidak adanya dukungan sosial. Artinya, stres akan cendcrung muncul pada
    para karyawan yang tidak mendapat dukungan dari lingkungan sosial mereka.
    Dukungan sosial di sini bisa berupa dukungan dari lingkungan pekerjaan maupun
    lingkungan keluarga. Banyak kasus menunjukkan bahwa, para karyawan yang
    mengalami stres kerja adalah mercka yang tidak mendapat dukungan (khususnya
    moril) dari keluarga, seperti orang tua, mertua, anak, teman dan semacamnya.
    Begitu juga ketika seseorang tidak memperoleh dukungan dari rekan sekerjanya
    (baik pimpinan maupun bawahan) akan cenderung lebih mudah terkena sires. Hal
    ini disebabkan oleh tidak adanya dukungan social yang menyebabkan
    ketidaknyamanan menjalankan pekerjaan dan tugasnya.
  2. Tidak adanya kesempatan bcrpartisipasi dalam pembuatan keputusan di
    kantor. Hal ini berkaitan dengan hak dan kewenangan seseorang dalam
    menjalankan tugas dan pekerjaannya. Banyak orang mengalami stres kerja ketika
    mereka tidak dapat memutuskan persoalan yang menjadi tanggung jawab dan
    kewcnangannya. Stres kerja juga bisa terjadi ketika seorang karyawan tidak
    dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut dirinya.
  3. Pelecehan seksual. Yakni, kontak atau komunikasi yang berhubungan atau
    dikonotasikan berkaitan dengan seks yang tidak diinginkan. Pelecehan seksual ini
    bisa dimulai dart yang paling kasar seperti memegang bagian badan yang sensitif,
    mengajak kencan dan semacamnya sampai yang paling halus berupa rayuan, pujian
    bahkan senyuman yang tidak pada konteksnya. Dari banyak kasus pelecehan
    seksual yang sering menyebabkan stres kerja adalah perlakuan kasar atau
    pengamayaan fisik dari lawan jenis dan janji promosi jabatan namun tak kunjung
    terwujud hanya karena wanita.. Stres akibat pelecehan seksual banyak terjadi pada
    negara yang tingkat kesadaran warga (khususnya wanita) terhadap persamaan jenis
    kclamin cukup tinggi, namun tidak ada undang-undang yang melindungmya
    (Baron and Greenberg dalam Margiati, 1999:72).
  4. Kondisi lingkungan kerja. Kondisi lingkungan kerja fisik ini bisa berupa
    suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, tcrlalu sesak, kurang cahaya, dan
    semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan
    seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu
    dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi
    atau arus udara. Di samping itu, kebisingan juga memberi andil tidak kecil
    munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan
    dibanding yang lain (Muchinsky dalam Margiati, 1999:73).
  5. Manajemen yang tidak sehat. Banyak orang yang stres dalam pekerjaan
    ketika gaya kepemimpinan para manajernya cenderung neurotis, yakni seorang
    pemimpin yang sangat sensitif, tidak percaya orang lain (khususnya bawahan),
    perfeksionis, terlalu mendramatisir suasana hati atau peristiwa sehingga
    mempengaruhi pembuatan keputusan di tempat kerja. Situasi kerja atasan selalu
    mencurigai bawahan, membesarkan peristiwa/kejadian yang semestinya sepele dan
    semacamnya, seseorang akan tidak leluasa menjalankan pekerjaannya, yang pada
    akhirnya akan menimbulkan stres (Minner dalam Margiati, 1999:73).
  6. Tipe kepribadian. Seseorang dengan kcpribadian tipe A cenderung
    mengalami sires dibanding kepribadian tipe B. Bcbcrapa ciri kepribadian tipe A ini
    adalah sering merasa diburu-buru dalam menjalankan pekerjaannya, tidak sabaran,
    konsentrasi pada lebih dan satu pekerjaan pada waktu yang sama, cenderung tidak
    puas terhadap hidup (apa yang diraihnya), cenderung berkompetisi dengan orang
    lain meskipun dalam situasi atau peristiwa yang non kompetitif. Dengan begitu,
    bagi pihak perusahaan akan selalu mengalami dilema kctika mengambil pegawai
    dengan kepribadian tipe A. Sebab, di satu sisi akan memperoleh hasil yang bagus
    dan pekerjaan mereka, namun di sisi lain perusahaan akan mendapatkan pegawai
    yang mendapat resiko serangan/sakit jantung (Minner dalam Margiati, 1999:73).
  7. Peristiwa/pengalaman pribadi. Stres kerja sering disebabkan pengalaman
    pribadi yang menyakitkan, kematian pasangan, perceraian, sekolah, anak sakit atau
    gagal sekolah, kehamilan tidak diinginkan, peristiwa traumatis atau menghadapi
    masalah (pelanggaran) hukum. Banyak kasus menunjukkan bahwa tingkat stres
    paling tinggi terjadi pada seseorang yang ditinggal mati pasangannya, sementara
    yang paling rendah disebabkan oleh perpindahan tempat tinggal. Disamping itu,
    ketidakmampuan memenuhi kebutuhan sehari-hari, kesepian, perasaan tidak aman,
    juga termasuk kategori ini (Baron & Greenberg dalam Margiati, 1999:73).
Davis dan Newstrom (dalam Margiati, 1999:73) stres kerja disebabkan:
  1. Adanya tugas yang terlalu banyak. Banyaknya tugas tidak selalu menjadi
    penyebab stres, akan menjadi sumber stres bila banyaknya tugas tidak sebanding
    dengan kemampuan baik fisik maupun keahlian dan waktu yang tersedia bagi
    karyawan.
  2. Supervisor yang kurang pandai. Scorang karyawan dalam menjalankan tugas
    sehari-harinya biasanya di hawah bimbingan sekaligus mempertanggungjawabkan
    kepada supervisor. Jika seorang supervisor pandai dan menguasai tugas bawahan,
    ia akan membimbing dan memberi pengarahan atau instruksi secara baik dan
    benar.
  3. Terbatasnya waktu dalam mengerjakan pekerjaan. Karyawan
    biasanya mempunyai kemampuan normal menyelesaikan tugas
    kantor/perusahaan yang dibebankan kepadanya. Kemampuan bcrkaitan dengan
    keahlian, pcngalaman, dan waktu yang dimiliki. Dalam kondisi tertentu, pihak
    atasan seringkali memberikan tugas dengan waktu yang lerbatas. Akibatnya,
    karyawan dikejar waktu untuk menyelesaikan tugas sesuai tepat waktu yang
    ditetapkan atasan.
  4. Kurang mendapat tanggungjawab yang memadai. Faktor ini berkaitan
    dengan hak dan kewajiban karyawan. Atasan sering memberikan tugas kepada
    bawahannya tanpa diikuti kewenangan (hak) yang memadai. Sehingga, jika harus
    mengambil keputusan harus berkonsultasi, kadang menyerahkan sepenuhnya pada
    atasan.
  5. Ambiguitas peran. Agar menghasilkan performan yang baik, karyawan perlu
    mengetahui tujuan dari pekerjaan, apa yang diharapkan untuk dikerjakan serta
    scope dan tanggungjawab dari pekerjaan mereka. Saat tidak ada kepastian tentang
    definisi kerja dan apa yang diharapkan dari pekerjaannya akan timbul ambiguitas
    peran.
  6. Perbedaan nilai dengan perusahaan. Situasi ini biasanya terjadi pada para
    karyawan atau manajer yang mempunyai prinsip yang berkaitan dengan profesi
    yang digeluti maupun prinsip kemanusiaan yang dijunjung tinggi (altruisme).
  7. Frustrasi. Dalam lingkungan kerja, perasaan frustrasi memang bisa
    disebabkan banyak faktor. Faktor yang diduga berkaitan dengan frustrasi
    kerja adalah terhambatnya promosi, ketidakjelasan tugas dan wewenang serta
    penilaian/evaluasi staf, ketidakpuasan gaji yang diterima.
  8. Perubahan tipe pekerjaan, khususnya jika hal terscbul tidak umum. Situasi
    ini bisatimbul akibat mutasi yang tidak sesuai dengan keahlian dan jenjang karir
    yang di lalui atau mutasi pada perusahaan lain, meskipun dalam satu grup namun
    lokasinya dan status jabatan serta status perusahaannya berada di bawah
    perusahaan pertama.
  9. Konflik peran. Terdapat dua tipe umum konflik peran yaitu (a) konflik peran
    intersender, dimana pegawai berhadapan dengan harapan organisasi terhadapnya
    yang tidak konsisten dan tidak sesuai; (b) konflik peran intrasender, konflik peran
    ini kebanyakan terjadi pada karyawan atau manajer yang menduduki jabatan di dua
    struktur. Akibatnya, jika masing-masing struktur memprioritaskan pekerjaan yang
    tidak sama, akan berdampak pada karyawan atau manajer yang berada pada posisi
    dibawahnya, terutama jika mereka harus memilih salah satu alternative.
Sumber stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau
yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam
pembangkit tetapi dari beberapa pembangkit stres. Sebagian besar dari waktu
manusia bekerja. Karena itu lingkungan pekerjaan mempunyai pengaruh yang
besar terhadap kesehatan seseorang yang bekerja. Pembangkit stres di pekerjaan
merupakan pembangkit stres yang besar perannya terhadap kurang berfungsinya
atau jatuh sakitnya seseorang tenaga kerja yang bekerja. Faktor-faktor di pekerjaan
yang bcrdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke
dalam lima kategon besar (lihat Gambar 2.1) yaitu faktor-faktor intrinsik dalam
pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam
pekerjaan, serta stniktur dan iklim organisasi Hurrel (dalam Munandar, 2001:381 -
401):
  1. Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan
    Termasuk dalam kategori ini ialah tuntutan fisik dan tuntutan tugas.
    Tuntutan fisik misalnya faktor kebisingan. Sedangkan faktor-faktor tugas mencakup: kerja malam, beban kerja, dan penghayatan dari resiko dan bahaya.
  2. Peran Individu dalam Organisasi
    Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya
    setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai
    dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya.
    Namun demikian tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya
    tanpa menimbulkan masaiah. Kurang baik berfungsinya peran, yang merupakan
    pembangkit stres yaitu meiiputi: konflik peran dan ketaksaan peran (role
    ambiguity).
  3. Pengembangan Karir
    Unsur-unsur penting pengembangan karir meliputi:
    • · Peluang untuk menggunakan ketrampilan jabatan sepenuhnya
    • · Peluang mengembangkan kctrampilan yang baru
    • · Penyuluhan karir untuk memudahkan keputusan-keputusan yang
menyangkut karir.
Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup
ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.
  1. Hubungan dalam Pekerjaan
    Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya
    kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah
    dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ketaksaan
    peran yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai
    antara pekerja dan ketegangan psikologikal dalam bcntuk kepuasan pekerjaan yang
    rendah, penurunan dari kodisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekanrekan
    kerjanya (Kahn dkk, dalam Munandar, 2001:395).
  2. Struktur dan iklim Organisasi
    Faktor stres yang dikenali dalam kategorf ini adalah terpusat pada sejauh
    mana tenaga kerja dapat tcrlihat atau berperan serta pada support sosial.
    Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan
    dengan suasana hati dan perilaku negalif. Peningkatan peluang untuk berperan
    serta menghasilkan peningkatan produktivitas, dan peningkatan taraf dari
    kesehatan mental dan fisik.
  3. Tuntutan dari Luar Organisasi/Pekerjaan
    Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur kehidupan
    seseorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa kehidupan dan kerja
    di dalam satu organisasi, dan dapat memberi tekanan pada individu. Isu-isu tentang
    keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi dan
    organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan
    perusahaan, semuanya dapat merupakan tekanan pada individu dalam
    pekerjaannya, sebagaimana halnya stres dalam pekerjaan mempunyai dampak yang
    negatif pada kehidupan keluarga dan pribadi.
  4. Ciri-ciri Individu
    Menurut pandangan intcraktifdari stres, stres ditcntukan pula oleh
    individunya scndiri, sejauh mana ia melihat situasinya scbagai penuh stres. Reaksireaksi
    sejauh mana ia melihat situasinya sebagai penuh stres. Reaksi-reaksi
    psikologis, fisiologis, dan dalam bentuk perilaku terhadap stres adalah hasil dari
    interaksi situasi dengan individunya, mcncakup ciri-ciri kepribadian yang khusus
    dan pola-pola perilaku yang didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai,
    pengalaman masa lalu, kcadaan kehidupan dan kecakapan (antara lain intcligensi,
    pendidikan, pelatihan, pembelajaran). Dengan demikian, faktor-faktor dalam diri
    individu berfungsi sebagai faktor pengaruh antara rangsang dari lingkungan yang
    merupakan pembangkit stres potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang
    menentukan bagaimana, dalam kenyataannya, individu bereaksi terhadap
    pembangkit stres potensial.
Dampak Stres Kerja Pada Karyawan

Pengaruh stres kerja ada yang menguntungkan maupun merugikan bagi
perusahaan. Namun pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan perusahaan
diharapkan akan rnemacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan
scbaik-baiknya. Reaksi terhadap stress dapat merupakan reaksi bersifat psikis
maupun fisik. Biasanya pekerja atau karyawan yang stress akan menunjukkan
perubahan perilaku. Perubahan perilaku tcrjadi pada din manusia sebagai usaha
mengatasi stres. Usaha mengatasi stres dapat berupa perilaku melawan stres
(flight) atau freeze (berdiam diri). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga reaksi ini
biasanya dilakukan secara bergantian, tergantung situasi dan bentuk stres.
Perubahan-perubahan ini di tempat kerja merupakan gejala-gejala individu yang
mengalami stres antara lain (Margiati, 1999:78-79) : (a) bekerja melewati batas
kemampuan, (b) kelerlambatan masuk kerja yang sering, (c) ketidakhadiran
pekerjaan, (d) kesulitan membuat kepulusan, (e) kesalahan yang sembrono, (f)
kelaiaian menyelesaikan pekerjaan, (g) lupa akan janji yang telah dibuat dan
kegagalan diri sendiri, (h) kesulitan berhubungan dengan orang lain, (i) kerisauan
tentang kesalahan yang dibuat, (j) Menunjukkan gejala fisik seperti pada alat
pencernaan, tekanan darah tinggi, radang kulit, radang pernafasan.

Strategi Manajemen Stres Kerja

Stres dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dapat dihadapi tanpa
memperoleh dampaknya yang negatif. Manajemen stres lebih daripada sekedar
mengatasinya, yakni betajar menanggulanginya secara adaplif dan efektif. Hampir
sama pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang
harus dicoba. Sebagian para pengidap stres di tempat kerja akibat persaingan,
sering melampiaskan dengan cara bekerja lebih keras yang berlebihan. Ini
bukanlah cara efektif yang bahkan tidak menghasilkan apa-apa untuk memecahkan
sebab dari stres, justru akan menambah masalah lebih jauh. Sebelum masuk ke
cara-cara yang lebih spesifik untuk mengatasi stressor tertentu, harus
diperhitungkan beberapa pedoman umum untuk memacu perubahan dan
penaggulangan. Pemahaman prinsip dasar, menjadi bagian penting agar seseorang
mampu merancang solusi terhadap masalah yang muncul terutama yang berkait
dengan penyebab stres dalam hubungannya di tempat kerja. Dalam hubungannya
dengan tempat kerja, stres dapat timbul pada beberapa tingkat, berjajar dari
ketidakmampuan bekerja dengan baik dalam peranan tertentu karena
kesalahpahaman atasan atau bawahan. Atau bahkan dari sebab tidak adanya
ketrampilan (khususnya ketrampilan manajemen) hingga sekedar tidak menyukai
seseorang dengan siapa harus bekerja secara dekat (Margiati, 1999:76).

Suprihanto dkk (2003:63-64) mengatakan bahwa dari sudut pandang
organisasi, manajemen mungkin tidak khawatir jika karyawannya mengalami stres
yang ringan. Alasannya karena pada tingkat stres lertentu akan memberikan akibat
positif, karena hal ini akan mendesak mereka untuk melakukan tugas lebih baik.
Tetapi pada tingkat stres yang tinggi atau stres ringan yang berkepanjangan akan
membuat menurunnya kinerja karyawan. Stres ringan mungkin akan memberikan
keuntungan bagi organisasi, tetapi dari sudut pandang individu hal tersebut bukan
merupakan hal yang diinginkan. Maka manajemen mungkin akan berpikir untuk
menibcrikan tugas yang menyertakan stress ringan bagi karyawan untuk
memberikan dorongan bagi karyawan, namun sebaliknya itu akan dirasakan
sebagai tekanan oleh si pekerja. Maka diperlukan pendekatan yang tepat dalam
mengelola stres, ada dua pendekatan yaitu pendekatan individu dan pendekatan
organisasi.
  1. Pendekatan Individual
    Seorang karyawan dapat berusaha sendiri untuk mcngurangi level stresnya.
    Strategi yang bersifat individual yang cukup efektif yaitu; pengelolaan waktu,
    latihan fisik, latihan relaksasi, dan dukungan sosial. Dengan pengelolaan waktu
    yang baik maka seorang karyawan dapat menyelesaikan tugas dengan baik, tanpa
    adanya tuntutan kerja yang tergesa-gesa. Dengan latihan fisik dapat meningkatkan
    kondisi tubuh agar lebih prima sehingga mampu menghadapi tuntutan tugas yang
    berat. Selain itu untuk mengurangi sires yang dihadapi pekerja pcrlu dilakukan
    kegiatan-kegiatan santai. Dan sebagai stratcgi terakhir untuk mengurangi stres
    adalah dengan roengumpulkan sahabat, kolega, keluarga yang akan dapat
    memberikan dukungan dan saran-saran bagi dirinya.
Pendekatan Organisasional
Beberapa penyebab stres adalah tuntutan dari tugas dan peran serta struktur
organisasi yang scmuanya dikendalikan oleh manajemen, schingga faktor-faktor
itu dapat diubah. Oleh karena itu strategi-strategi yang mungkin digunakan oleh
manajemen untuk mengurangi stres karyawannya adalah melalui seleksi dan
penempatan, penetapan tujuan, redesain pekerjaan, pengambilan keputusan
partisipatif, komunikasi organisasional, dan program kesejahteraan. Melalui
strategi tersebut akan menyebabkan karyawan memperoleh pekerjaan yang sesuai
dengan kemampuannya dan mereka bekerja untuk tujuan yang mereka inginkan
serta adanya hubungan interpersonal yang sehat serta perawatan terhadap kondisi
fisik dan mental.

2 komentar:

  1. Bro...bisa tulisin ga sumbernya Cooper (dalam Rice, 1999) yang tabel itu, saya butuh bantuan..terimakasi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau yang aku tahu Bro, bukunya itu berjudul "Stress and Health - Phillip L. Rice". Cari aja di Google kalau tidak yakin Bro. Terima kasih.

      Delete

* Berkomentarlah yang Sopan sesuai dengan Judul isi Postingan.
* Komentar secepatnya direspon jika admin tidak sibuk. Terima Kasih

 
Top