Millennium Development Goals (MDGs) adalah sebuah komitmen bersama masyarakat internasional untuk mempercepat pembangunan manusia dan pengentasan kemiskinan. Salah satu tujuan MDGs yaitu menurunkan Angka Kematian Balita sebesar dua pertiga dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2015. Indikator Angka Kematian Balita yang paling penting adalah Angka Kematian Bayi, untuk selanjutnya disebut AKB. Selain itu, AKB merupakan salah satu tolak ukur untuk menilai sejauh mana ketercapaian kesejahteraan rakyat sebagai hasil dari pelaksanaan pembangunan bidang kesehatan. Kegunaan lain dari AKB adalah sebagai alat monitoring situasi kesehatan, sebagai input penghitungan proyeksi penduduk, serta dapat juga dipakai untuk mengidentifikasi kelompok penduduk yang mempunyai resiko kematian tinggi (SDKI, 2004). Pada dekade 1990-an, rata-rata penurunan AKB adalah lima persen per tahun, sedikit lebih tinggi daripada dekade 1980-an sebesar empat persen per tahun. Keberhasilan dalam menurunkan AKB ini cukup signifikan, namun AKB di Indonesia masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, yaitu 1,3 kali lebih tinggi dari Filipina; 1,8 kali lebih tinggi dari Thailand dan 4,6 kali lebih tinggi dari Malaysia (Bappenas, 2008).

Dilihat dari AKB-nya, dalam periode 1991-2005 Indonesia sudah memenuhi target dari MDGs, artinya ditinjau dari tujuan dapat dikatakan sudah berhasil. Tetapi kecenderungan yang terjadi, berdasarkan prediksi dari tim BPSUNDP- Bappenas (2005) penurunan AKB tidak berlangsung cepat, tetapi turun perlahan secara eksponensial. Berdasarkan pola ini, diperkirakan di tahun 2015 AKB di Indonesia mencapai 21 kematian bayi per 1000 kelahiran. Angka ini belum memenuhi target dari MDGs yaitu sebesar 17 kematian bayi per 1000 kelahiran. Untuk itu pemerintah harus berupaya keras melalui berbagai program intervensi untuk menekan AKB ini.
Diantara provinsi-provinsi di Indonesia pada tahun 2007, posisi Jawa Timur apabila dilihat dari AKB-nya, termasuk kelompok menengah yaitu 35 kematian per 1000 kelahiran. AKB terendah yaitu DI Yogyakarta dengan 19 kematian bayi per 1000 kelahiran, sedangkan yang tertinggi adalah Provinsi Sulawesi Barat dengan 74 kematian bayi per 1000 kelahiran (BPS, 2008). Pada tahun 2008 AKB Jawa Timur turun dari 35 menjadi 32. Apabila dicermati lebih lanjut, kabupaten/kota di Jawa Timur mempunyai AKB yang sangat beragam, yang terendah di Kota Blitar (22 kematian per 1000 kelahiran) sedangkan tertinggi di Kabupaten Probolinggo (69 kematian per 1000 kelahiran). Terjadinya keragaman dan ketimpangan antar daerah menarik untuk dikaji, apa penyebabnya dan apakah ada aspek wilayah berpengaruh terhadap AKB. Aspek wilayah dalam penelitian ini terkait dengan perbedaan karakteristik antar daerah, diantaranya adalah ketersediaan tenaga medis serta fasilitas kesehatan yang dimiliki oleh kabupaten/kota di Jawa Timur.
Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2002-2003 mengumpulkan berbagai informasi, diantaranya tentang kematian bayi yang dikelompokkan berdasarkan karakteristik sosial ekonomi dan biodemografis. Variabel sosial ekonomi tersebut mencakup tempat tinggal, pendidikan, serta indeks kekayaan kuantil. Variabel biodemografis meliputi umur ibu, paritas dan jarak kelahiran. Beberapa variabel lain yang berpengaruh terhadap kematian bayi antara lain berat bayi saat lahir, pemeriksaan kehamilan dan penolong kelahiran, serta komplikasi saat persalinan, semuanya telah tercakup didalamnya. Secara umum, bayi yang lahir dari ibu yang tinggal di daerah perkotaan, mempunyai AKB yang lebih rendah daripada ibu yang tinggal di daerah perdesaan, hal ini kemungkinan terkait dengan ketersediaan fasilitas yang lebih memadai dan perilaku kesehatan yang lebih baik dari penduduk perkotaan dibandingkan dengan penduduk perdesaan. Pendidikan ibu mempunyai hubungan berbanding terbalik
dengan AKB. Keluarga yang memiliki ibu berpendidikan rendah, mempunyai kecenderungan AKB lebih besar daripada keluarga yang ibunya berpendidikan lebih tinggi. SDKI (2004) mencatat AKB dari ibu yang tidak sekolah adalah 67 kematian bayi per 1000 kelahiran, sedangkan ibu yang berpendidikan SLTP mempunyai AKB hampir sepertiganya yaitu 23 kematian bayi per 1000 kelahiran. Penelitian tentang AKB telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya adalah Wahid (1993), Nugroho (1993), Sutanto (1995), Patriani dkk (1999) dan Hartono dkk (2000). Wahid (1993) mengulas tentang pengaruh faktor social ekonomi terhadap kematian bayi di Sulawesi dengan metode regresi logistik. Penelitian ini hanya mengkaji hubungan faktor-faktor tersebut terhadap resiko kematian bayi yang ditimbulkannya, dengan melihat nilai odds rasio dari model yang terbentuk. Hal serupa juga dilakukan oleh Nugroho (1993) dengan cakupan wilayah di Kecamatan Sliyeg dan Kecamatan Gabus Wetan Kabupaten Indramayu, serta Sutanto (1995) dengan ruang lingkup daerah di luar Pulau Jawa. Patriani dkk (1999) meneliti tentang pengaruh karakteristik keluarga terhadap kematian bayi di desa tertinggal pada 3 Provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Sumatera Selatan). Metode statistik yang digunakan adalah uji Chi Square. Penelitian tersebut hanya mengidentifikasi hubungan/keterkaitan antara variabel-variabel karakteristik keluarga terhadap kematian bayi, tidak mengkaji bagaimana pola hubungannya dan seberapa kuat hubungan antara variable independen dengan variabel respon. Demikian juga penelitian yang dilakukan Hartono dkk (2000) dengan wilayah observasi di Provinsi Kalimantan Barat.
Di Indonesia penelitian tentang AKB sudah banyak dilakukan, tetapi belum ada penelitian yang mengkaji AKB dan faktor-faktor yang mempengaruhi dengan tinjauan aspek spasial. Aspek spasial ini penting untuk dikaji, karena antara satu wilayah dengan wilayah lain mempunyai perbedaan karakteristik. Keragaman karakteristik antar kabupaten/kota di Jawa Timur menentukan kualitas kesehatan pada daerah tersebut. Sedangkan Angka Kematian Bayi (AKB) sangat erat kaitannya dengan kualitas kesehatan di suatu daerah.
Keunikan karakteristik suatu wilayah seringkali kurang teramati fenomenanya. Informasi tentang karakteristik lokasi ini bisa ditangkap dengan menggunakan analisis data spasial. Kuncoro (2002) mengatakan bahwa selama kurang lebih satu abad, para pakar geografi, pakar ekonomi, perencana kota, para ahli strategi bisnis, ilmuwan regional dan ilmuwan lainnya telah mencoba memberikan penjelasan tentang mengapa dan dimana suatu aktivitas berlokasi. Hal ini mendorong semakin maraknya penelitian tentang efek lokasi/spasial sebagai tempat berlangsungnya berbagai aktivitas, baik aktivitas ekonomi maupun aktivitas sosial lainnya.

PEMBAHASAN

Pengertian MDGs
Millenium Development Goals (MDGs) saat ini merupakan salah satu isu dunia yang praktisnya berupa delapan tujuan utama pekerjaan rumah bersama seluruh negara dan masyarakat dunia, termasuk Indonesia yang harus direalisasikan sesuai target waktu yang disepakati. Presiden kita, Susilo Bambang Yudhoyono membawa Indonesia ke atas meja bersama 188 negara di dunia saat MDGs ini dirumuskan melalui Deklarasi Millenium pada tahun 2000 silam. Namun, apakah MDGs itu sendiri saat ini sudah berhasil disosialisasikan dengan baik oleh SBY melalui pemerintahannya kepada seluruh masyarakat di Indonesia?

 Tujuan MDGs
Secara singkat, MDGs berupa delapan butir tujuan bersama yang mencakup pencapaian tujuan dalam beberapa bidang kehidupan.
  • Tujuan ke-1: Mengentaskan Kemiskinan dan Kelaparan
  • Tujuan ke-2: Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua
  • Tujuan ke-3: Mendukung Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan
  • Tujuan ke-4: Mengurangi Tingkat Kematian Anak
  • Tujuan ke-5: Meningkatkan Kesehatan Ibu
  • Tujuan ke-6: Memerangi HIV/AIDS dan Penyakit Menular Lainnya
  • Tujuan ke-7: Memastikan Kelestarian Lingkungan
  • Tujuan ke-8: Mengembangkan Kemitraan dalam Pembangunan
Di Indonesia sendiri, melalui program pencapaian MDGs, SBY menginstruksikan penjabaran butir-butir tujuan di atas menjadi target-target yang lebih praktis dan derivatif. Berdasarkan situs resminya, MDGs sendiri oleh Indonesia diterjemahkan sebagai beberapa tujuan dan upaya pembangunan manusia, sekaligus sebagai usaha penanggulangan kemiskinan ekstrem.
Boleh dikatakan, presiden kita, SBY hingga saat ini tergolong salah satu dari beberapa kepala negara yang cukup aktif mewakili Indonesia dalam beberapa acara manifestasi internasional. Hingga periode kedua pemerintahannya ini SBY berulang kali ke luar negeri dan menghadiri pertemuan baik secara bilateral dengan beberapa kepala negara, maupun secara konferensional seperti pada beberapa konferensi isu perubahan iklim dan pemulihan ekonomi. Saat ini boleh dikatakan pula bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang “diperhitungkan” dalam forum diskusi internasional. MDGs ini sendiri saat ini sudah memiliki sistem koordinasi sendiri yang oleh pemerintah Indonesia diupayakan agar bisa efektif dalam pencapaiannya. Sayangnya, sekelumit masalah dalam negeri yang beberapa di antaranya tergolong krisis dan bersifat alot dalam penyelesaiannya, mau tidak mau menjadi pengalih perhatian pemerintah dan kalangan masyarakat dalam negeri dari hal-hal yang tak kalah penting dan esensial seperi realisasi MDGs. Dari kacamata penulis sendiri nampak hal-hal yang berupa kekhawatiran bahwa saat ini pemerintah sudah cenderung reaktif hanya pada isu-isu jangka pendek yang bergulir di masyarakat, baik itu menyentil pemerintah ataupun yang tidak. Beberapa waktu yang lalu timbul diskusi kecil di beberapa kalangan aktivis dalam negeri yang menyinggung sikap SBY yang dianggap terlalu “cengeng” dan tidak esensial karena sangat mudah menanggapi kritikan kecil semacam pemberitaan media massa sedangkan sudah jarang membahas kiat praktis dalam merealisasikan program pembangunan jangka panjang yang disusun oleh pemerintahannya sendiri. Hal ini memang tidak bisa dipungkiri bahwa godaan pemerintahan yang dialami oleh SBY berisiko menjadi batu sandungan jalannya pemerintahan yang seharusnya lebih mengedepankan misi dan target-target pemerintahan yang lebih masuk akal dan realistis.
Sekelumit contoh menurut uraian target MDGs Indonesia yang sebagian besar ditargetkan sudah tercapai pada tahun 2015,  diuraikan dari tujuan pertama MDGs, Indonesia menargetkan mengentaskan kemiskinan minimal 50% dari seluruh masyarakat miskin di Indonesia. Selain itu, mengurangi jumlah masyarakat penderita kelaparan hingga setengahnya. SBY pastilah sudah sering meluncurkan instruksi-instruksi kepada para pembantunya untuk merealisasikan dua poin ini. Namun, jika dilihat dari kacamata Orang Indonesia dalam perspektif MASYARAKAT, maka tidaklah berlebihan jika dinilai bahwa hingga saat ini belum ada hasil sama sekali yang dirasakan. Bagaimana tidak, kesenjangan sosial semakin bertambah. Yogyakarta misalnya, yang tergolong daerah dengan tingkat kemiskinan rendah di Indonesia saja masih susah payah memperbaiki kemiskinan di Kab. Gunungkidul yang sangat kontras dengan kabupatan-kabupaten di sekitarnya, yakni masih di atas 25% (data tahun 2005).
Hal lain adalah program peningkatan kesehatan ibu. Tingkat kematian Ibu karena proses melahirkan di Indonesia oleh WHO dikategorikan masih tinggi, yaitu 1 dari 65. Dalam sepuluh tahun terakhir, angka kematian Ibu di Indonesia menurun hanya sekitar 120, jadi butuh upaya besar jika target 2015 ditekankan pada semakin rendahnya angka kematian Ibu ini. Saat ini SBY masih setia dengan prgoram KB, program “warisan” penyelenggaraan kesehatan dari pemerintahan sebelumnya. Hingga saat ini pun belum begitu banyak dirasakan inovasi dan sosialisasi pencapaian tujuan KB sehingga tingkat kelahiran pun masih tergolong tinggi.
Saat ini pemerintahan SBY sudah memasuki periode ke-2. MDGs nampaknya perlu disosialisikan lebih luas ke masyarakat dengan dengan interpretasi dan pembahasan yang lebih sederhana. Masyarakat tentunya tidak ingin program-program hebat dunia semacam ini hanya menjadi bola manis politik yang pada akhirnya hanya menjadikan pemerintahan “keren”, namun bisa menjadi cikal bakal terwujudnya masyarakat yang memiliki pandangan lebih terbuka pada arah pemerintahan saat ini. Masyarakat selalu ingin tahi “MAU DIBAWA KEMANA KAMI INI, DAN DENGAN KENDARAAN APA?”.
SBY selaku pemegang tongkat koordinasi penyelenggaraan pemerintahan serta penyalur program-program dunia untuk masyarakatnya memang dituntut untuk selalu terbuka dan solutif. Dengan serangkaian tim kerja serta koordinator kabinet pastilah tidak begitu susah untuk membuat masyarakat mengetahui program-program pemerintah yang paling baik, apalagi memang hanya menyangkut kesejahteraan masyarakat. MDGs saat ini memang belum begitu populer di tahah air, masih banyak masyarakat yang belum paham bahkan menyebut istilahnya saja sudah susah payah. Maka sekali lagi, adalah tugas pemerintah yang membahasakannya agar lebih “merakyat”.
Sosialisasi program dunia untuk masyarakat Indonesia bisa juga menjadi media pembangunan hubungan baik antara pemerintah dan masyarakat yang saat ini sangat rentan terhadap isu-isu diferensial dan cenderung menimbulkan reaksi represif. Beberapa isu yang terjadi belakangan ini semakin menguatkan adanya indikasi bahwa hubungan pemerintah dengan rakyat semakin renggang dan tegang. Di saat seperti inilah masyarakat membutuhkan kedewasaan pemerintah yang bisa menjadi panutan. Karena pada hakikatnya, hampir tidak ada rakyat yang anti terhadap pemerintahnya sendiri. Bagaimanapun, program Millenium Development Goals (MDGs) ini sangat cocok merepresentasikan masalah-masalah yang dialami Indonesia. Adalah betul bahwa melalui MDGs negara-negara lain juga saat ini berjuang menyelesaikan masalah-masalah yang sama, dengan caranya masing-masing.
Maka, memasuki tahun kedua dalam periode kedua pemerintahannya, SBY memang sepatutnya berpikir keras guna memposisikan diri dan pemerintahannya di antara masyarakat dalam menghadapi tantangan-tantangan ke depan ini. Target penyelesaian krisis pada tahun 2015 yang dicanangkan pemerintah tentunya didukung penuh oleh segenap masyarakat. Karena itulah, implementasi dan penyelesaian misi-misinyalah yang harus disiasati pemerintah agar jauh dari konflik dan selalu bisa diterima masyarakat. Dalam kondisi sudah lumayan dipandang dunia seperti ini, Indonesia bawjib membuktikan sesuatu, paling tidak memperlihatkan kemajuan-kemajuan MDGs pada 2015.

Sasaran
Deklarasi Millennium PBB yang ditandatangani pada September 2000 menyetujui agar semua negara:
Memberantas kemiskinan dan kelaparan
  • Pendapatan populasi dunia sehari $1.
  • Menurunkan angka kemiskinan.
Mencapai pendidikan untuk semua
  • Setiap penduduk dunia mendapatkan pendidikan dasar.
Mendorong kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan
  • Target 2005 dan 2015: Mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam pendidikan dasar dan menengah terutama untuk tahun 2005 dan untuk semua tingkatan pada tahun 2015.
Menurunkan angka kematian anak
  • Target untuk 2015 adalah mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun.
Meningkatkan kesehatan ibu
  • Target untuk 2015 adalah Mengurangi dua per tiga rasio kematian ibu dalam proses melahirkan.
Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit menular lainnya
  • Target untuk 2015 adalah menghentikan dan memulai pencegahan penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit berat lainnya.
Memastikan kelestarian lingkungan hidup
  • Mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan setiap negara dan program serta mengurangi hilangnya sumber daya lingkungan.
  • Pada tahun 2015 mendatang diharapkan mengurangi setengah dari jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum yang sehat.
  • Pada tahun 2020 mendatang diharapkan dapat mencapai pengembangan yang signifikan dalam kehidupan untuk sedikitnya 100 juta orang yang tinggal di daerah kumuh.
Mengembangkan kemitraan global untuk pembangunan
  • Mengembangkan lebih jauh lagi perdagangan terbuka dan sistem keuangan yang berdasarkan aturan, dapat diterka dan tidak ada diskriminasi. Termasuk komitmen terhadap pemerintahan yang baik, pembangungan dan pengurangan tingkat kemiskinan secara nasional dan internasional.
  • Membantu kebutuhan-kebutuhan khusus negara-negara kurang berkembang, dan kebutuhan khusus dari negara-negara terpencil dan kepulauan-kepulauan kecil. Ini termasuk pembebasan-tarif dan -kuota untuk ekspor mereka; meningkatkan pembebasan hutang untuk negara miskin yang berhutang besar; pembatalan hutang bilateral resmi; dan menambah bantuan pembangunan resmi untuk negara yang berkomitmen untuk mengurangi kemiskinan.
  • Secara komprehensif mengusahakan persetujuan mengenai masalah utang negara-negara berkembang.
  • Menghadapi secara komprehensif dengan negara berkembang dengan masalah hutang melalui pertimbangan nasional dan internasional untuk membuat hutang lebih dapat ditanggung dalam jangka panjang.
  • Mengembangkan usaha produktif yang layak dijalankan untuk kaum muda.
  • Dalam kerja sama dengan pihak "pharmaceutical", menyediakan akses obat penting yang terjangkau dalam negara berkembang
  • Dalam kerjasama dengan pihak swasta, membangun adanya penyerapan keuntungan dari teknologi-teknologi baru, terutama teknologi informasi dan komunikasi.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1.      Upaya Pemerintah Indonesia merealisasikan Sasaran Pembangunan Milenium pada tahun 2015 akan sulit karena pada saat yang sama pemerintah juga harus menanggung beban pembayaran utang yang sangat besar. Program-program MDGs seperti pendidikan, kemiskinan, kelaparan, kesehatan, lingkungan hidup, kesetaraan gender, dan pemberdayaan perempuan membutuhkan biaya yang cukup besar. Merujuk data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, per 31 Agustus 2008, beban pembayaran utang Indonesia terbesar akan terjadi pada tahun 2009-2015 dengan jumlah berkisar dari Rp97,7 triliun (2009) hingga Rp81,54 triliun (2015) rentang waktu yang sama untuk pencapaian MDGs. Jumlah pembayaran utang Indonesia, baru menurun drastis (2016) menjadi Rp66,70 triliun. tanpa upaya negosiasi pengurangan jumlah pembayaran utang Luar Negeri, Indonesia akan gagal mencapai tujuan MDGs.

Saran
1.      Dengan adanya MDGs maka masyarakat dunia bisa menikmati kehidupan yang lebih layak sesuai dengan 8 tujuan MDGs.

2 komentar:

  1. program ini cukup bagus, dan sedang giat dilaksanakan oleh pemerintah diberbagai daerah di indonesia. hasilnyapun sangat signifikan.

    ReplyDelete
  2. Ya mang benar program ini lagi gncar2x dijlankan oleh pemerintah demi mencapai Indonesia sehat 2015 ..Makasih @Mubarak Ali yang sudah mampir di Blog saya yang Miskin ini ...sukses slalu

    ReplyDelete

* Berkomentarlah yang Sopan sesuai dengan Judul isi Postingan.
* Komentar secepatnya direspon jika admin tidak sibuk. Terima Kasih

 
Top