Kelangkaan Air Picu Krisis dan Bencana

Walaupun Indonesia merupakan salah satu negara tropika basah di dunia, krisis air sering melanda kawasan ini. Di beberapa daerah di Indonesia sering ditemukan kelangkaan air bersih, sehingga masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhannya.

Dalam hal sumberdaya air, krisis yang dialami Indonesia menyangkut aspek penyediaan dan aspek pengelolaan. Dalam hal penyediaan, masalah yang timbul mencakup aspek kuantitas dan kualitas. Secara spasial, permasalahan air dapat digolongkan pada dua wilayah, yakni perkotaan, dan pedesaan.

Di Perkotaan belum semua anggota masyarakat mendapat akses air bersih secara sehat. Di kota-kota besar, banyak masyarakat di wilayah kumuh memanfaatkan bantaran sungai untuk MCK dan air minum.



Penyediaan air bersih melalui institusi/perusahaan yang terkait, misalnya PDAM, masih belum mecukupi. Sebagai gambaran, PDAM DKI Jaya pernah menyatakan 62% warga telah terlayani. Namun data itu diragukan kalangan DPRD. Pelayanan air dari PDAM, misalnya, tidak selalu memenuhi persyaratan, baik dalam hal kuantitas maupun kualitas, yaitu sering tidak memenuhi baku mutu lingkungan untuk air minum.

Kualitas air bersih yang diterima warga tidak murni bersih, banyak kotoran, bahkan ada indikasi terkontaminasi pencemaran dari sejumlah limbah pabrik. Masyarakat juga menyesalkan suplai air dari PDAM Jaya yang tidak pernah normal seperti volume air yang sedikit, sering mati, dan debit air yang buruk.

Kurangnya penyediaan air minum oleh PDAM berimplikasi pada penggunaan air tanah secara tidak terkendali, baik oleh masyarakat, maupun terutama oleh industri dan hotel-hotel. Akibat selanjutnya, terjadi penurunan tanah karena air tanah tersedot. Dalam catatan Dinas Pertambangan DKI Jakarta tahun 2008, penurunan permukaan tanah di kawasan Jalan MH Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, dan Kuningan, Jakarta Selatan, adalah 20-40 cm dalam delapan tahun terakhir.

Penggunaan air tanah telah pula menyebabkan intrusi air laut yang semakin masuk jauh ke arah daratan. Beberapa kota di Indonesia seperti Jakarta, Semarang, dan Denpasar terancam intrusi air laut akibat eskploitasi air bawah tanah yang tidak terkendali.

Instrusi air laut di Jakarta sudah mencapai 10 km dari batas pantai. Dilihat dari kedalaman muka air akuifer dalam, maka di Jakarta kedudukannya bervariasi antara 20-40 meter di bawah muka tanah. Di daerah-daerah pusat industri di Bandung, muka air akuifer dalam sudah mencapai 50-60 meter. Penurunan permukaan air tanah maupun muka air akuifer dalam ini sangat berbahaya, karena akan ada rongga-rongga yang kosong yang otomatis akan diisi air laut untuk menyeimbangkannya. Akibatnya, mutu air akan menurun dan banyak yang menjadi asin. Air tanah tidak dapat lagi dikonsumsi.

Secara umum, tanah Jakarta terdiri atas pasir dan lempung yang belum kompak. Di wilayah ini penurunan tanah mencapai 2-5 sentimeter per tahun. Ada tiga kombinasi penyebabnya, yaitu pengambilan air tanah yang berlebihan, beban berlebihan, dan pemampatan lapisan tanah.

Hasil penelitian Bank Dunia memprediksikan bahwa jika pengelolaannya masih seperti sekarang, tanah Jakarta akan amblas pada kisaran 2025. Para ahli juga menetapkan tanggal perkiraan, yaitu 6 Desember 2025 atau 18,6 tahun mendatang, air laut akan naik dan menggenangi hampir separo kota berpenduduk 12 juta jiwa itu.

Permasalahan di pedesaan
Permasalahan air yang terjadi di pedesaan terkait dengan penyediaan air untuk irigasi. Meskipun sering dinyatakan bahwa Indonesia terletak di wilayah iklim tropika basah yang secara teoritis memiliki ketersediaan air yang tidak menjadi hambatan, namun pada kenyataannya masalah sumberdaya air semakin lama semakin menjadi persoalan.

Secara nasional, total ketersediaan air dibandingkan dengan kebutuhan air memang masih surplus, yaitu ketersediaannya per tahun 691,340 miliar meterkubik, sedangkan total kebutuhan air pada tahun 2000 adalah 156,362 miliar meterkubik. Namun demikian pada tahun itu, beberapa pulau di Indonesia telah mengalami defisit air, yaitu Pulau Jawa (52,809 miliar meterkubik), Sulawesi (9,232 miliar), Bali (7,531 miliar) dan NTT (1,343 miliar).

Fakta itu mengindikasikan bahwa pengelolaan air harus dilakukan karena pasokan air sangat terbatas. Bahkan secara spasial hampir semua daerah di Indonesia pernah mengalami kelangkaan air, terutama pada saat puncak musim kemarau. Banyak daerah yang sebelumnya bukan merupakan daerah endemik kekeringan telah berubah menjadi endemik kekeringan. Untuk kegiatan budidaya, kebutuhan air akan semakin meningkat, sementara porsi air untuk pertanian akan berkurang.

Diproyeksikan bahwa pada kondisi tahun 2025, demand air akan mencapai 3,5 kali dari demand pada tahun 2002, dengan porsi air pertanian akan berkurang 25 persen. Terjadinya kelangkaan air dan konflik antarsektor sudah dirasakan petani, namun sampai saat ini perhatian dan penanganan belum proposional.

Dampak penurunan pasokan air untuk pertanian pun sudah dirasakan, misalnya di daerah pantura di Jawa Barat (dengan 242.000 ha sawah), pada tahun normal kehilangan hasil padi adalah 435.600 ton/tahun, tetapi pada tahun kering (El-Nino) kehilangan hasil padi dapat mencapai 871.200 ton.

Konflik dalam perebutan air di antara wilayah hulu dan hilir, wilayah pusat dan daerah dan wilayah DAS akan semakin meningkat jika pemerintah tidak sejak sekarang mereformasi dan membangun pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan, yang memasukkan aspek kualitatif, kuantitatif, dan prinsip harga air dalam perumusan kebijakan yang diambil.

Dalam skala Daerah Aliran Sungai (DAS) di Jawa misalnya, dari 141 DAS, tercatat ada 116 DAS yang kritis, di antaranya 16 Kritis kategori I. Sementara itu di luar Pulau Jawa, dari sejumlah 326 DAS, sebanyak 175 DAS tergolong rusak.

Kenyataan itu memberikan akibat-akibat yang besar: frekuensi banjir dan longsor di musim hujan, kekeringan musim kemarau meningkat, banjir dan kekeringan di hilir mengganggu pasokan air irigasi sehingga dapat menurunkan produksi padi.

Masalah lain adalah pemecahan sengketa lingkungan terkait dengan air, seperti yang terjadi di Cicurug dan Cidahu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, kesulitan air karena puluhan perusahaan air minum menyedot air di daerah yang dikelilingi tiga gunung, sehingga menciptakan sumur-sumur dan sawah yang kering.

Dalam hal ini, implementasi UU No.7 tahun 2004 telah membuka peluang bagi privatisasi sumberdaya air oleh investor sehingga menimbulkan potensi konflik dengan masyarakat sekitarnya karena aksesnya terhadap sumber daya air tertutup.

Harus Terpadu
Penanganan masalah air harus dilakukan secara terpadu dengan melibatkan semua pihak terkiat. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi dan sinkronisasi berbagai peraturan yang terkait dengan sumberdaya air.

Hal-hal yang perlu dilakukan dan dijabarkan lebih lanjut untuk pengaturan yang lebih komprehensif dan tidak semata-mata bersifat sektoral sebagai berikut:
Pertama, UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini merupakan perbaikan dari UU sebelumnya. PP untuk penjabaran UU ini belum ada.

Kedua, UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, dijabarkan dengan PP No. 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air dan PP No. 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah Ketiga, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Terakhir, implementasinya harus dilakukan secara konsekwen dan konsisten mengingat soal air ini terkait dengan banyak kelembagaan, Departemen PU untuk urusan air permukaan, Departemen Pertambangan dan Energi untuk urusan air tanah, Departemen Perindustrian sebagai pemakai untuk sektor industri, Departemen Pertanian sebagai pemakai untuk sektor pertanian, Departemen Kehutanan sebagai pengelola kawasan resapan berstatus hutan dan hutan lindung.

Mengingat masalah sumberdaya air ini melibatkan banyak pemangku kepentingan baik sebagai penyedia prasarana, pemakai, penjaga kawasan maka perlu dilakukan revitalisasi kelembagaan yang mampu mengkoordinasi berbagai instansi yang terkait dengan masalah air tersebut, di pusat maupun di daerah.

Hal lain yang dapat dilakukan yaitu dengan penegakan hukum lingkungan bagi mereka yang melakukan pencemaran lingkungan dan merusak ekosistem.

Wacana pembentukan menteri koordinator tersendiri bidang pengelolaan SDA & pelestarian lingkungan ada baiknya dipertimbangkan, agar penanganan masalah lingkungan dapat dilakukan secara efektif dan tuntas.


0 komentar:

Post a Comment

* Berkomentarlah yang Sopan sesuai dengan Judul isi Postingan.
* Komentar secepatnya direspon jika admin tidak sibuk. Terima Kasih

 
Top